27 December 2010
Teknologi Komunikasi dan Perubahan Gaya Hidup Manusia
Kemajuan teknologi ini disadari atau tidak lambat laun juga mempengaruhi kualitas hidup manusia. tentu saja amat berbeda kehidupan manusia saat ini dengan kehidupan manusia sepuluh tahun yang lalu. Kehadiran teknologi komunikasi membawa pengaruh yang amat besar dalam kehidupan manusia. apa yang dahulu sangat sulit dilakukan dan membutuhkan waktu lama, saat ini akan begitu mudah dilakukan dan cepat dengan bantuan perangkat teknologi yang ada. Kata kunci yang tercakup dalam teknologi komunikasi adalah praktis, mudah, dan cepat.
Tulisan ini akan sedikit mengulas tentang peran teknologi komunikasi terutama ponsel dalam mengubah gaya hidup sekaligus meningkatkan kualitas hidup manusia.
Perkembangan Teknologi Komunikasi Seluler
Perkembangan teknologi saat ini dirasakan begitu cepat. Teknologi baru terus bermunculan untuk menambahkan fungsi yang sudah ada atau bahkan menggantikan fungsi teknologi yang sudah ada. Manusia semakin dimanjakan dengan adanya teknologi-teknologi tersebut. Sesuatu yang dulunya sulit dilakukan, saat ini menjadi semakin mudah dilakukan dengan adanya teknologi-teknologi tersebut. Sesuatu yang dulunya dilakukan dalam waktu yang lama, sekarang dapat dilakukan dengan cepat. Bentuk perangkatnya pun menjadi semakin kompak dan praktis.
Salah satu perangkat teknologi yang begitu penting dalam kehidupan manusia dan membawa pengaruh yang signifikan dalam mmemperbaiki kualitas hidup manusia adalah telepon seluler. Teknologi telepon seluler, yang bisa disingkat menjadi ponsel, telah berkembang dengan sangat cepat terutama dalam sepuluh tahun terakhir. Dalam kurun waktu ini ponsel juga mengalami pergeseran fungsi dan kedudukan dalam kehidupan manusia.
saat pertama kali ponsel ini muncul, fungsi utamanya adalah untuk melakukan komunikasi suara dan pesan singkat. Ponsel saat itu bisa jadi menggabungkan dua fungsi yang saat itu sudah ada yang dilakukan secara terpisah dengan dua perangkat yang berbeda. Komunikasi suara yang telah diperankan melalui teknologi telepon pada dasarnya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia saat itu. namun, perangkat yang ada tidak dapat dibawa kemana-mana dan harus diletakkan secara tetap di satu tempat. Telepon ini disambungkan melalui kabel-kabel dari satu tempat ke tempat lain. Telepon biasanya terpasang secara tetap di rumah-rumah dan di kantor-kantor. Ini yang membuat telepon tidak memiliki mobilitas. Namun demikian, telepon masih dibutuhkan sampai saat ini walaupun lambat laun bisa digantikan fungsinya oleh perangkat lain yang lebih fleksibel dan mobile.
Fungsi mobilitas ini kemudian coba dibawa oleh perangkat lain yang disebut pager. Perangkat ini dibuat untuk dapat menerima pesan di saat orang sedang berada di jalan atau di tempat yang tidak ada telepon. Seseorang yang sedang di jalan dapat segera menerima pesan yang boleh jadi amat penting. Perangkat ini bisa jadi memberikan fitur tambahan kepada fungsi telepon yang sudah ada namun belum bisa menyediakan fungsi komunikasi yang maksimal dan sesuai dengan kebutuhan manusia.
Keterbatasan kedua perangkat ini dalam memberikan fungsi komunikasi yang cepat dan juga mobile, melahirkan teknologi komunikasi baru berupa teknologi seluler. Mobilitas dan fleksibilitas adalah dua kata kunci yang mengiringi teknologi seluler ini. Teknologi seluler dibawa dalam satu perangkat yang disebut telepon seluler. Telepon seluler dapat menyelenggarakan komunikasi suara dan teks berupa pesan singkat (sms) dalam satu perangkat yang kompak dan fleksibel. Ponsel dapat dibawa kemana pun orang pergi. Hal ini dimungkinkan melalui sambungan tanpa kabel (wireless) bukan sambungan kabel seperti telepon biasa. Fungsi mobilitas tentu dapat disediakan dengan sangat baik oleh teknologi seluler ini.
dengan teknologi seluler ini pesan penting dapat cepat disampaikan dan diterima seseorang tanpa harus orang itu sampai ke rumah dan tersambung dengan telepon. Komunikasi pun dapat dengan mudah dilakukan dimana pun orang itu berada. Saat masih berada di atas kendaraan, di tempat umum dan terbuka, dan tempat lain yang tidak tersambung telepon. Orang juga dapat mengirim pesan singkat dengan biaya yang terjangkau, dan dapat segera dibaca oleh orang lain.
Dalam perkembangannya, teknologi seluler pun mengalami perkembangan yang amat pesat. Perkembangan ini bisa dilihat dari bentuk perangkatnya atau ponselnya yang semakin kecil dan kompak, fungsi tambahan yang semakin banyak yang membuat ponsel tidak hanya berfungsi untuk komunikasi suara dan teks saja, dan juga fungsi jaringan wireless dari teknologi seluler untuk menyelenggarakan koneksi yang lebih luas mencakup koneksi data atau internet.
Dari segi bentuk, ponsel telah mengalami perkembangan yang begitu cepat dan revolusioner. Ponsel yang awalnya ditampilkan dalam perangkat yang cukup besar dan berbobot, kini telah diwakili oleh perangkat yang kompak, simpel, dan ringan. Ponsel dengan mudah dapat dibawa dan dimasukkan ke dalam kantong celana atau tas bahkan dompet. Susutnya ukuran ponsel ini juga diikuti dengan murahnya harga ponsel. Ponsel yang awalnya hanya dapat dimiliki oleh kalangan elit dan berkantong tebal telah berubah menjadi perangkat yang dapat dimiliki oleh semua kalangan. Bahkan bisa jadi saat ini telah menjadi salah satu kebutuhan primer di luar sandang, pangan, dan papan.
Semakin kompaknya bentuk dan ukuran ponsel juga diikuti oleh semakin banyaknya fitur tambahan yang dibenamkan dalam sebuah ponsel. Kamera, pemutar musik dan video, perekam suara (recording), serta pembaca dokumen adalah beberapa fitur tambahan yang seolah-olah wajib dimiliki oleh sebuah ponsel. Fungsi ponsel pun lambat laun semakin bertambah tidak hanya sekedar perangkat untuk berkomunikasi. Ponsel juga dapat digunakan sebagai perangkat hiburan dan fotografi. Fungsi fotografi di ponsel seolah-olah ingin membuat dan meningkatkan fleksibilitas dari sebuah perangkat ponsel yang bisa melakukan banyak hal dan bisa diwakili oleh satu perangkat saja. Biaya yang dikeluarkan pun semakin berkurang dengan adanya satu perangkat yang bisa melakukan banyak fungsi. Karena orang tidak perlu membeli banyak perangkat untuk tiap fungsi tetapi hanya dengan membeli satu perangkat saja yang multifungsi dan dengan harga yang sesuai.
Perkembangan fungsi ponsel yang lain dan tak kalah pentingnya adalah penggunaan ponsel untuk melakukan komunikasi data. Jaringan komunikasi wireless dalam perkembangannya telah mengalami penambahan fungsi, dari yang awalnya hanya dapat menyelenggarakan komunikasi suara dan teks menjadi komunikasi data dengan volume yang lebih besar. Teknologi seluler telah berkembang dari teknologi generasi pertama atau 1G (berupa suara dan teks), menjadi 2,5G (GPRS yang bisa mengirim gambar via mms dan transfer data melalui internet), 3G (pembicaraan dengan video atau video call dan internet), sampai 3,5G HSDPA yang bisa melakukan banyak fungsi seperti video call, streaming video, dan internet yang lebih cepat. Semakin baru teknologinya, semakin cepat transfer data yang bisa dilakukan. Koneksi internet pun menjadi lebih mudah dan cepat dengan teknologi yang lebih baru (3G dan 3,5G).
Fungsi ponsel pun semakin bertambah dengan digunakannya ponsel untuk melakukan koneksi internet. Terhubung ke internet pun dapat dilakukan melalui ponsel atau bisa juga ponsel berfungsi sebagai modem untuk dihubungkan ke komputer. Membaca berita dan informasi singkat di internet pun dapat dilakukan dengan menggunakan ponsel. Informasi yang perlu diketahui dengan cepat dapat diambil atau dibaca di internet dimana pun berada melalui ponsel tanpa harus menggunakan komputer. Satu fungsi tambahan patut disematkan kepada teknologi seluler yang memungkinkannya terhubung ke internet, yaitu konektivitas. Belakangan ini fungsi konektivitas ini menjadi semakin penting dengan adanya berbagai social media yang membuat orang saling terhubung satu sama lain.
Uraian di atas sedikit menggambarkan perkembangan fungsi ponsel dan perkembangan teknologi komunikasi khususnya teknologi seluler. Kemajuan teknologi ini secara sadar ataupun tidak dan baik langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kehidupan manusia. meski ada dampak negatifnya sebagaimana teknologi-teknologi yang lain, harus diakui bahwa telah banyak dampak positif yang telah dibawa dan dirasakan dengan adanya teknologi selular ini.
Teknologi Seluler Dan Peningkatan Kualitas Hidup Manusia
Sebagaimana telah diuraikan di atas, kita dapat membagi fungsi ponsel dalam tiga kata, mobilitas, fleksibilitas, dan konektivitas. Ketiga fungsi ini secara dinamis telah mengubah kehidupan manusia dan mengubah wajah dunia. Pandangan manusia telah semakin berkembang menjadi semakin baik dari hari ke hari. Kemudahan-kemudahan telah dihadirkan oleh adanya teknologi seluler ini. fungsi sosial manusia yang secara fitrah dimiliki oleh manusia untuk dapat saling mengenal dan saling berbagi telah disediakan dengan sangat baik oleh kehadiran dan perkembangan teknologi seluler ini. secara sederhana, peningkatan kualitas manusia dengan kehadiran teknologi komunikasi ini hadir dalam bentuk kemudahan, kecepatan, dan praktis. Hal ini juga membuat manusia menjadi dapat melakukan lebih banyak hal positif dalam kehidupannya, dan melakukannya secara efektif dan efisien. Semua ini mungkin menjadi sesuatu yang sangat sulit dilakukan pada masa lalu sebelum adanya teknologi seluler.
Dalam dunia bisnis dan perdagangan, orang biasa melakukan pemesanan barang. Dahulu pemesanan atau penawaran barang dilakukan menggunakan surat. Ini tentu saja memerlukan waktu yang lama dan sedikit biaya pos. Dengan teknologi komunikasi pemesanan atau penawaran barang dapat dilakukan dengan lebih cepat dan murah. Surat dapat dikirim via email untuk surat yang panjang atau dengan pesan singkat (sms) untuk surat yang berupa pesan pendek.
Pergerakan bisnis pun bisa dilakukan dengan lebih cepat. Order barang dan pengiriman yang biasanya dilakukan berhari-hari, sekarang dapat dilakukan dengan lebih cepat. Biaya produksi pun dapat ditekan menjadi lebih murah dan keuntungan pun menjadi lebih besar tentunya.
Penjual bisa mendapatkan order barang dengan mudah via sms dan dengan cepat pula mengirimkan barang ke pemesan atau pembeli. Penjual pun memiliki kesempatan lebih besar untuk mendapatkan lebih banyak pelanggan. Kesempatan penjual atau pedagang untuk mendapat keuntungan pun menjadi lebih besar. Tak heran, ponsel merupakan salah satu perangkat wajib buat pedagang, tidak peduli seberapa besar skala keuntungan pedagang itu. tentu saja, pedagang dengan skala usaha yang besar dapat memiliki ponsel yang lebih bagus dengan fitur-fitur yang lebih lengkap sesuai dengan kebutuhannya, dibanding pedagang dengan skala usaha yang lebih kecil.
Salah satu aktivitas manusia modern adalah melakukan transaksi perbankan. Pergerakan uang begitu cepat seiring dengan meningkatnya kebutuhan manusia dan transaksi keuangan. Semakin banyak aktivitas membuat transaksi perbankan secara nyata yang dilakukan di bank menjadi sesuatu yang agak merepotkan. Layanan mobile banking (perbankan mobile) pun dibuat agar berbagai transaksi perbankan dapat dilakukan menggunakan ponsel. Buat mereka yang selalu berhubungan dengan bank dengan berbagai kepentingannya seperti transfer uang, menerima uang, ataupun mengecek saldo tabungan dapat mengaktifkan layanan mobile banking di ponselnya. Mereka pun dapat melakukan berbagai transaksi perbankan melalui ponselnya. Tentu ini merupakan sebuah keuntungan besar yang memberikan kemudahan dan efektivitas dalam kehidupan manusia.
Bagi pekerja kantor layanan mobile banking dapat mempermudah urusannya. Berbagai transaksi perbankan dapat dilakukan tanpa perlu meninggalkan tugas dan pekerjaan kantornya. Bagi pengusaha atau pebisnis, mereka dapat mengefektifkan waktu mereka untuk lebih fokus dalam hal lainnya seperti memperluas pemasaran dan pelayanan kepada pelanggan tanpa disibukkan oleh urusan perbankan yang agak rumit. Ibu rumah tangga juga dipermudah dengan adanya layanan mobile banking ini. urusan rumah tangga di rumah dapat diselesaikan tanpa perlu direpotkan bolak-balik ke bank untuk melakukan transaksi. Mobile banking adalah salah satu layanan teknologi seluler yang mempermudah kehidupan manusia.
Teknologi Komunikasi Dan Fungsi Sosial Manusia
Seperti yang telah disebutkan di atas, salah satu fungsi ponsel yang belakangan ini menjadi semakin berkembang adalah memungkinkan orang terhubung ke internet. Konektivitas adalah salah satu kata yang semakin populer yang dihubungkan dengan internet. Ponsel pun harus bisa memerankan fungsi ini dengan baik. Artinya, ponsel harus bisa melakukan koneksi ke internet agar bisa terhubung dengan dunia maya yang amat luas.
Manusia selalu haus akan informasi-informasi dan biasa menggantungkan keputusan-keputusannya berdasarkan informasi yang diterimanya. Dengan ponsel, orang dapat dengan mudah mencari informasi yang berguna dan cepat di internet. Tentu saja, mereka harus menggunakan ponsel yang memiliki fitur untuk bisa tersambung ke internet. Minimal ponsel dapat bekerja dalam jaringan GPRS (2,5G) atau yang lebih besar (3G dan 3,5G). informasi banjir dan kemacetan lalu lintas dapat diperoleh secara mobile sehingga orang bisa melakukan langkah antisipasi, misalnya dengan mencari jalur alternatif yang bisa dilewati.
Fungsi sosial manusia yang selalu ingin berinteraksi dengan manusia lainnya dan saling berbagi, membuat manusia mengembangkan teknologi media sosial (social media) dan jejaring sosial (social networking). Melalui jejaring sosial ini, orang dapat berinteraksi dengan banyak orang tanpa dibatasi oleh ruang. Banyak orang dari tempat-tempat yang berjauhan dapat saling mengenal dan berinteraksi. Mereka dapat saling berbagi informasi yang berguna satu sama lain. Mereka dapat saling mengisi kekurangan dan kelebihan masing-masing. Ini tentu saja sangat sesuai dengan fitrah manusia. manusia akan selalu ingin berinteraksi, berkomunikasi, dan berbagi. Semua ini dapat diselenggarakan dengan sangat baik oleh teknologi media sosial. Beberapa situs jejaring sosial yang banyak digunakan diantaranya adalah facebook dan twitter.
Dan, media sosial ini dapat diakses secara mobile dengan menggunakan ponsel. Mereka yang aktif di berbagai jejaring pertemanan (social media) pun bisa melakukan aktivitasnya melalui ponsel. Mereka berinteraksi dengan saling berbagi komentar, berbagi foto, dan berbagi catatan melalui ponsel. Mereka melakukannya dari berbagai tempat, dari tempat makan, dari dalam mobil, bus, atau kereta saat melakukan satu perjalanan, dan juga dalam keadaan apa pun misalnya sedang mengikuti seminar. Berbagai informasi singkat bisa saling disharing dengan cepat dan mudah. bahkan terkadang bisa terjadi sebuah diskusi yang panjang dengan banyak orang yang saling memberikan komentar dari sebuah status yang singkat.
Selain melalui media sosial berupa facebook, orang juga dapat berbagi tulisan dan terhubung satu sama lain melalui blog. Dan, ada sebagian blog yang dapat diakses via ponsel. Artinya, orang dapat memposting catatan di blog dengan menggunakan ponselnya. Sekali lagi, Mobilitas dan konektivitas telah dijalankan dengan sangat baik dengan menggunakan perangkat komunikasi seluler.
Penutup
Berbagai aktivitas sosial yang dilakukan manusia baik secara nyata maupun secara maya dan secara online dengan menggunakan ponsel telah mengubah gaya hidup manusia dan secara tidak langsung pula meningkatkan kualitas hidup manusia. Ini juga menggambarkan dengan jelas betapa dekat dan pentingnya perangkat teknologi komunikasi khususnya teknologi seluler dalam kehidupan manusia modern.
Dan, salah satu pihak yang memiliki peran dalam proses ini adalah operator seluler. Mereka inilah yang dengan segala daya upaya menyediakan jaringan dan layanan yang sesuai yang memungkinkan teknologi seluler dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tarif yang lebih murah dengan tingkat konektivitas yang semakin berkualitas, tentu menjadi harapan bagi seluruh pengguna seluler. Semoga harapan pelanggan ini dapat dipenuhi oleh operator seluler.
13 December 2010
Kampanye Hemat Listrik dan Tanggung Jawab Operator
Namun demikian, seiring dengan kebutuhan listrik yang semakin besar dan terus bertambah, sepertinya penyediaan listrik menjadi amat sulit. ini terlihat dari ketidakmampuan operator untuk memberikan pasokan listrik yang memadai kepada konsumen. Tulisan ini ingin mengingatkan kembali tugas dan tanggung jawab operator dalam menyediakan pasokan listrik yang sustainable.
Di jaman modern ini, dimana segala macam perangkatnya menggunakan listrik sebagai sumber energinya, kebutuhan atas pasokan listrik yang memadai begitu penting dan mendesak. Hal ini semestinya dilihat oleh operator penyedia listrik sebagai sebuah peluang bisnis. Sebuah peluang untuk mendapatkan banyak pelanggan dan menjual banyak produknya kepada pelanggan dalam bentuk sambungan listrik.
Dalam bisnis tentu saja hal ini merupakan peluang untuk mendapatkan keuntungan. Makin banyak produk yang terjual, makin besar pula pendapatan yang akan peroleh. Namun tampaknya hal ini tidak semudah yang dibayangkan, jika yang melakukan itu adalah operator listrik.
Penyediaan listrik memerlukan suatu mekanisme yang lumayan panjang. Mula-mula listrik harus dibangkitkan dalam sebuah pembangkit listrik. Investasi yang besar diperlukan untuk membuat sebuah pembangkit listrik. Bayangkan, sebuah PLTA yang dibangun di sebuah waduk yang sangat besar. Tentu saja ini sebuah pekerjaan yang amat besar dengan biaya yang juga sangat besar. Bisa jadi biaya investasi ini adalah salah satu kendala dalam penyediaan listrik.
Setelah listrik dibuat, listrik itu perlu dialirkan ke konsumen. Biasanya konsumen berada di tempat yang jauh dari pembangkit listrik. Diperlukan jalur transmisi untuk mengalirkan listrik ke konsumen. Interkoneksi juga diperlukan untuk menyatukan transmisi dari pembangkit-pembangkit listrik yang berbeda.
Boleh jadi, kerumitan sistem kelistrikan seperti yang disebutkan di atas menjadi alasan yang digunakan operator atas banyaknya layanan yang kurang memadai. Masih banyaknya pemadaman bergilir adalah salah satu masalah yang sering dikeluhkan konsumen.
Salah satu usaha yang ditempuh oleh operator untuk mengurangi dampak kurangnya pasokan listrik adalah dengan melakukan penghematan listrik. kampanye hemat listrik pun digalakkan melalui berbagai media. Namun, tentu saja kampanye hemat listrik ini menimbulkan pertanyaan besar. Apakah gerakan ini benar-benar merupakan solusi ataukah hanya upaya untuk menutupi ketidakmampuan operator untuk menyediakan listrik yang sustainable? Dalam pandangan bisnis, kampanye hemat listrik tentu bertolak belakang dengan upaya operator untuk mendapatkan keuntungan lebih besar. Karena kampanye hemat listrik pada hakikatnya hanya mencegah konsumen untuk membayar lebih banyak kepada operator, tentu ini suatu kerugian buat operator.
Kampanye hemat listrik tentu bukan solusi yang diharapkan oleh konsumen. Sebagai pengguna listrik, konsumen punya hak untuk menggunakan layanan yang sudah menjadi haknya dan akan dibayarkan. Konsumen tentu merasa tidak nyaman jika hak yang semestinya diterima tapi harus dibatasi. Tentu tidak akan nyaman jika penerangan yang harusnya bisa dipakai pada malam hari, harus dikurangi?
Bahkan, seharusnya operator diuntungkan jika konsumen banyak menggunakan listrik karena pasti akan membayar lebih banyak. Bukankah ini sebuah ironi? Jadi, tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa kampanye hemat listrik mencerminkan kurangnya tanggung jawab operator dalam memberikan layanan penyediaan listrik yang baik. Tidak terlalu salah pula jika ada konsumen yang menuntut tanggung jawab dari operator.
Sudah semestinya operator memikirkan solusi yang lebih baik agar pasokan listrik tetap bisa diterima oleh konsumen. Investasi mau tidak mau harus dilakukan. Dan, jika mengingat bahwa listrik merupakan kebutuhan primer dari tiap orang, sepertinya investasi itu tidak akan sia-sia. Bayangkan saja kebutuhan listrik yang pasti akan semakin meningkat di masa depan dimana akan ada lebih banyak perangkat yang menggunakan listrik sebagai sumber energinya.
Kreativitas dan inovasi tentu saja sangat diperlukan dalam mencari sumber pembangkitan energi listrik yang sustainable dan dapat diperbarui. Selain juga efektivitas dan kebijakan yang tepat dalam mengelola biaya dan investasi, agar dana besar yang telah diinvestasikan dapat kembali (balik modal) dengan cepat dan menjadi keuntungan yang bisa dinikmati sebagai sumber pemasukan buat negara.
06 January 2010
change
The word that can reflect about our resolution or plan in this new year is change. The change is a suitable word that describe about us and the world around us. We have to realize that the world around us are always change and it’s very dynamize. The world around us will always change time to time.
The things around us are not a static thing. New technology discover and produce from to time. New concept and method always establish every day. These things are change our life and our thinking and will advancing our quality of life.
It’s us who must follow the world around us. And, it’s not them who will follow us. So, we must change. change to be a better person who always suitable with the time we live and suitable with the world around us.
I also post this article at kompasiana
http://ekstra.kompasiana.com/group/english/2010/01/02/change/
28 December 2009
simple question
I must work harder and spend more time than someone else to get more money. I should work at holiday when others take a time on vacation. I must finish my side job at the same time when i see my children playing around.
I can't stay with my children when they're need me beside them. I always have no time to be with my children cause I have endless work to do where i can get more money from there.
Now, I'm just have a simple question in my mind. Am I a workaholic or just a desperate married man who need more money?
18 June 2009
Kampanye = obral janji, adakah alternatif lain?
Buat saya, masa kampanye adalah saat untuk tidak mempercayai semua yang disampaikan dan dijanjikan oleh setiap calon. Karena retorika mudah dibuat dan mudah juga diabaikan atau dilupakan.
Kampanye semacam ini memang wajar dalam rangka menumbuhkan citra positif di mata rakyat. Namun, apakah kita memilih untuk sebuah citra semata? Bukankah kita memilih pemimpin yang dapat membawa kepada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat?
Melihat kampanye yang demikian yang amat jauh berbeda dengan realitas, saya berpikir untuk memberikan alternatif bentuk kampanye yang lain. Jika selama ini kampanye dilakukan hanya sekedar menampilkan image dan citra yang baik (namun 100 persen menipu!!), mengapa tidak dibuat semacam penilaian kinerja berbasis project. Jika seorang pimpinan lembaga negara (misalnya Pertamina, PLN, gubernur BI) dipilih melalui tes kelayakan, mengapa tidak dilakukan juga terhadap capres-cawapres? Capres merupakan posisi yang sangat strategis, sudah sepantasnya dipilih dari mereka-mereka yang memang memiliki kapabilitas yang sesuai.
Jika seorang sarjana, master, dan doktor perlu melalui serangkaian project dan comprehensive test, maka seorang calon pemimpin eksekutif negara sangat perlu dipilih setelah melalui serangkaian test yang benar-benar akan memperlihatkan kualitas dan kapabilitasnya dalam memimpin negara.
Debat atau penyampaian visi-misi menurut saya juga kurang efektif untuk menilai kualitas calon karena debat masih berbasis retorika yang bersifat relatif sehingga belum dapat menunjukkan kemampuan yang sebenarnya. Hanya dengan penilaian berbasis project dan kinerja, kita dapat menilai secara objektif.
Kata-kata sangat mudah diucapkan. Janji janji sangat mudah dibuat dan ditetapkan. Namun, apa yang bisa kita dan seluruh rakyat tuntut atas semua kata-kata dan janji-janji yang sudah diucapkan tersebut?
Mungkin inilah salah satu kelemahan dari sistem demokrasi, yang didasarkan pada suara terbanyak. Semestinya seorang pemimpin dipilih tidak hanya didasarkan pada dukungan massa yang besar saja, namun dengan didasarkan pada kualitas dan kapabilitasnya untuk menjadi pemimpin. Dengan sistem demokrasi, seseorang dengan kualitas dan kapabilitas yang baik tidak bisa menjadi pemimpin karena tidak didukung oleh suara yang banyak. Sebaliknya, orang dapat berpeluang besar menjadi pemimpin karena mendapat dukungan yang besar meskipun kualitas dan kapabilitasnya masih perlu dipertanyakan.
Maka penilaian dan ujian berbasis project diperlukan untuk menilai dan menunjukkan kapabilitas dari calon pemimpin negara.
27 May 2009
Islam dan Warga Negara
Ada seorang warga negara yang tidak punya KTP dan menganggap tidak perlu memiliki KTP. Baginya menunjukkan identitas sebagai muslim sudah cukup buatnya. Dia merasa cukup dengan identitasnya sebagai muslim dan tidak merasa perlu menunjukkan identitas sebagai warga negara.
Pada suatu hari, orang tersebut ditangkap polisi. Dia ditanyakan oleh polisi identitasnya berupa KTP. Tentu saja orang ini tidak bisa menunjukkan KTP-nya karena memang dia tidak punya. Namun demikian, dia tetap berusaha menunjukkan bahwa dia adalah seorang muslim. Polisi tidak bisa menerimanya dan tetap berusaha meyakinkan orang itu untuk tetap menunjukkan identitas warga negaranya. Orang itu juga tetap tidak mau menunjukkan identitas kewarganegaraannya sambil tetap keukeuh menunjukkan jati dirinya sebagai muslim.
Karena orang ini tidak mau menunjukkan kewarganegaraannya, polisi kemudian menyuruhnya untuk pindah saja ke negara Islam yang lain. Polisi beralasan karena orang itu tidak diakui sebagai warga negara ini dan tidak mau menunjukkan identitas kewarganegaraannya. Orang ini jadi bingung, mana mungkin saya pindah ke negara lain. Belum tentu dia diterima di negara lain itu walaupun dia pindah ke negara Islam dan dia mengaku sebagai muslim.
Ini cuma gambaran sederhana bagaimana seorang muslim tetap harus menunjukkan identitas kewarganegaraannya dengan berusaha mengikuti setiap prosedur dan proses administrasinya. Hal ini bukan berarti dia berhukum kepada negara itu dan telah menduakan ALLAH dalam rasa cintanya. Bagaimana pun setiap muslim yang berada di setiap wilayah administratif hukum suatu negara tetap perlu mengikuti prosedur hukum di negara tempat dia tinggal, tentu saja tanpa perlu menanggalkan identitasnya sebagai muslim.
Identitas sebagai seorang warga negara tidak bisa lepas dari diri seorang muslim. Di mana pun dia tinggal. Seorang muslim yang tinggal di Arab Saudi tentu memiliki identitas sebagai warga negara Arab saudi, selain identitasnya sebagai seorang muslim tentunya. Seorang muslim yang tinggal dan terlahir sebagai warga negara Jerman memiliki identitas sebagai warga negara Jerman tentunya, selain identitasnya sebagai seorang muslim.
Jadi, jika seorang muslim berusaha menunjukkan identitasnya sebagai seorang warga negara yang berada di suatu wilayah negara, tentu ini perlu dipahami sebagai usaha dia dalam kapasitas warga negara.
Dan, menurut ana upaya ini yang sedang dilakukan PKS, yaitu berusaha menunjukkan identitasnya sebagai muslim dan juga tetap menunjukkan identitas sebagai warga negara yang menetap di sebuah wilayah suatu negara.
03 December 2008
Adakah kompromi di antara dua pilihan?
Saya punya pengalaman yang mungkin mendekati sebagaimana kondisi di atas. Pengalaman ini terjadi beberapa waktu yang lalu, sudah agak lama juga sih.
salah satu impian saya adalah bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. tidak dapat dibayangkan kegembiraan hati saya ketika pada suatu hari saya mendapat telepon yang menawarkan kepada saya beasiswa untuk studi tingkat magister. Saya langsung teringat bahwa beberapa bulan sebelumnya saya pernah apply untuk posisi research assistant dengan paket scholarship di sebuah perguruan tinggi swasta di jakarta. Tawaran ini tentu saja sangat menggiurkan karena memang sesuatu yang sangat saya impikan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Dengan penuh antusias saya bersedia mengikuti proses yang harus dijalani untuk dapat diterima di posisi yang ditawarkan itu. pertama, saya harus membuat suatu presentasi dengan tema case research. Presentasi ini dilakukan di hadapan suatu panitia/juri yang terdiri dari tiga orang. Dengan penuh semangat saya mempersiapkan bahan presentasi itu yang bahan-bahannya saya dapat di buku teks dan internet.
Pada hari yang ditentukan saya pun datang memenuhi panggilan untuk melakukan presentasi. Saya harus menampilkan presentasi saya di hadapan petinggi kampus itu yang mereka minimal bergelar S2, salah satunya adalah dekan dari fakultas dimana saya melamar. Presentasi pun berlangsung lancar sampai akhirnya tibalah waktu untuk tanya jawab. Di sinilah saya baru mengetahui hal yang sebenarnya tentang posisi yang saya lamar dan scholarship yang ditawarkan. Dalam kesempatan tanya jawab inilah dekan itu menanyakan kesiapan saya untuk melamar di posisi yang ditawarkan, yaitu research assistant.
Ternyata mereka menawarkan posisi ini dengan kompensasi berupa beasiswa (scholarship) untuk studi magister. Mereka menanyakan kesiapan saya karena mereka ingin memastikan saya siap bekerja dengan gaji berupa beasiswa tersebut. Jadi, mereka mengalihkan gaji dan membayarkannya dalam bentuk beasiswa. Mereka menegaskan bahwa sebenarnya mereka bukan menawarkan beasiswa kepada saya tetapi mereka menawarkan job atau pekerjaan dimana pendapatan dari job itu bukan berupa uang melainkan berupa beasiswa.
Dan, job yang ditawarkan kepada saya pun full time dan bukan part time. Artinya, saya harus bekerja 6 hari dalam seminggu dan ditambah juga harus mengikuti perkuliahan di malam harinya. Bukan pekerjaan yang ringan bahkan sangat berat ternyata. Mengetahui bahwa saya sudah berkeluarga dan memiliki tanggung jawab untuk memberi nafkah, membuat mereka benar-benar ingin tahu kesiapan saya atas kondisi ini.
Saya yang awalnya sangat antusias dengan proses ini, menjadi agak bimbang. Kondisi yang ditawarkan itu memang menggiurkan tapi sangat berat bagi saya yang sudah memiliki keluarga. Dengan kondisi kerja seperti di atas, 6 hari kerja ditambah kuliah malam, tanpa gaji sepeser pun (karena sudah dialihkan menjadi beasiswa) tentu saja sangat sulit buat saya. Praktis saya tidak bisa mendapatkan gaji/pendapatan apapun bahkan walaupun disambi dengan freelance tetap saja ngga bisa nutup nafkah buat keluarga.
Walaupun istri saya bekerja, saya ngga mungkin membebankan nafkah keluarga kepada istri saya. Sebagai kepala keluarga sayalah yang bertanggung jawab memberi nafkah untuk keluarga. Ini ngga mungkin bisa saya jalankan dalam kondisi yang ditawarkan itu. Di satu sisi saya sangat menginginkan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dan itu sudah ada di depan mata, tetapi di sisi lain saya juga memiliki keluarga yang harus saya beri nafkah.
Akhirnya dengan berat hati saya mengurungkan keinginan saya untuk mendapat beasiswa. Pihak universitas pun tidak ingin memaksa saya dan memahami kondisi saya yang sulit dan dilematis. Saya pun harus mengubur kembali cita-cita yang hampir bisa saya raih yang sudah ada di depan mata saya. Sedih, kecewa, dan berat rasanya. Saya hanya bisa berharap suatu saat nanti kesempatan itu akan datang lagi.
Dan, saat ini sepertinya kesempatan yang hampir sama kembali hadir di depan mata saya. Akankah saya mengorbankan cita-cita saya? Mungkinkah ada solusi yang bisa membuat saya dapat meraih cita-cita dan keinginan tanpa mengorbankan apa yang sudah ada?
11 August 2008
Rumahku adalah surgaku
Inilah salah satu hal yang menjadi beban pikiran istri saya belakangan ini. sebagai orang tua, kami ingin perkembangan anak-anak menjadi pembelajaran yang membuat mereka siap menghadapi masa depannya. Saat ini kami masih tinggal di kontrakan di dekat sekolah tempat istri saya mengajar. Letaknya agak jauh ke dalam yang lumayan jauh dari jalan raya. Pertimbangan kami memilih tempat ini semata-mata agar dekat dengan tempat kerja istri yang memungkinkan istri dekat dengan anak-anak. Saat anak-anak masih kecil ini sangat penting karena memungkinkan istri bisa izin untuk pulang saat jam istirahat atau jam kosong dan menyusui anak di rumah. Meskipun istri bekerja, dia tetap bisa memberikan asi buat anaknya.
Di sisi yang lain, lingkungan tempat saya tinggal menurut saya kurang kondusif buat perkembangan anak-anak. Apalagi sekarang mereka sudah agak besar dan sudah mulai bisa ditinggal pergi jauh. Di lingkungan kami saat ini, anak-anak tidak memiliki partner yang usianya setara. Firdaus (berusia 5 tahun) sering harus bermain dengan anak yang usianya jauh di atasnya. Ini membuat Firdaus sering menjadi objek penderita, yang disuruh macem-macem, yang selalu menjadi anak yang mengejar-ngejar anak yang lain, dan lain-lain. Ini kurang baik buat dia. Dia juga sudah mulai banyak mempunyai kosakata yang semestinya belum perlu dimiliki oleh anak seusianya. Anak saya yang kedua (berusia 2 tahun) selalu ingin ikut kemanapun kakaknya bermain. Ngga ada teman sebayanya yang usianya sepantar. Kondisi ini tidak menguntungkan buat kami dan anak-anak.
Keinginan untuk memiliki rumah sendiri dengan lingkungan yang lebih kondusif mengemuka belakangan ini. hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi di atas dan juga adanya faktor lain yang amat perlu dipertimbangkan. Kebetulan istri saya yang bekerja sebagai guru mendapat tawaran dari salah satu orang tua siswa yang dikenalnya. Orang tua siswa tersebut menawarkan rumahnya untuk dibeli atau disewa kepada istri saya. Tawaran ini menjadi sangat menarik karena orang tua siswa tersebut menawarkan harga yang lebih rendah dibandingkan harga pasaran yang ada. Tentu saja istri saya sangat berminat dengan tawaran ini.
Berbeda dengan istri yang sangat tertarik dengan tawaran dari orang tua siswa tersebut, saya malah agak sedih dengan kabar ini. saat istri saya dengan antusiasnya menceritakan tentang tawaran ini, hati saya bagai teriris-iris. Sejujurnya saya ingin sekali memiliki rumah yang bisa menjadi tempat kami sekeluarga bernaung, tapi saya ngga bisa membayangkan dari mana saya bisa membayar harga rumah tersebut. Bisa makan aja udah syukur, pikir saya.
Selama ini kami selalu kesulitan mengatur keuangan keluarga kami. Meskipun istri saya bekerja, saya ngga mungkin dong meminta dia untuk menyisihkan pendapatannya untuk keluarga. Bagi saya, sebagai kepala rumah tangga sayalah yang harus bertanggung jawab memberi nafkah untuk keluarga. Dan inilah yang sulit karena sampai saat ini saya masih belum mendapatkan pekerjaan yang bisa menjamin masa depan.
Kalau dihitung, saya dan istri sudah berumah tangga selama 6 tahun. Dan, selama itu juga kami masih kesulitan untuk menyisihkan pendapatan kami yang memang ngga memadai untuk ditabung. Istri saya sendiri harus membiayai keluarganya (bapak, ibu, dan adik) yang juga tidak memiliki pendapatan yang tetap. Jadi, pendapatan kami selama ini ya menguap begitu saja untuk menutupi kebutuhan hidup yang semakin ngga terjangkau.
Perasaan saya sering merasa sedih dan teriris-iris saat mendengar cerita istri tentang teman-temannya yang sudah berhasil membangun rumah atau sudah membeli rumah di satu perumahan. Normalnya sih saat ini kami yang sudah bekerja bertahun-tahun semestinya sudah memiliki sebuah tempat bernaung yang layak buat anak-anak kami. Tapi, begitulah kenyataan yang kami harus jalani saat ini.
Kami terus berdoa dan berusaha agar dapat memberikan tempat yang layak buat anak-anak kami. Rumah yang bagaikan surga. Home sweet home.
Rumahku adalah surgaku, kapankah kami bisa mewujudkannya?
05 August 2008
We Wanna be A Good Parent
Usia 1 s/d 5 tahun disebut-sebut sebagai golden age atau masa emas dalam kehidupan seseorang. Artinya, baik tidaknya anak-anak kita ketika tumbuh dewasa nanti sangat ditentukan dari bagaimana mereka mendapatkan perlakuan dan pendidikan yang sesuai saat masih kecil. Jadi, saya sangat memperhatikan dan serius mengikuti perkembangan anak-anak saya yang saat ini sedang memasuki fase tersebut.
Sekecil apapun sikap kita kepada mereka akan memberikan pengaruh besar buat perkembangan kepribadiannya. Saya bukan tipe orang tua yang selalu memperhatikan kemana saja anak saya pergi sambil terus berteriak-teriak memperingatkannya saat ingin melakukan sesuatu tetapi saya juga tidak membiarkan anak-anak saya bertindak seenaknya tanpa menegurnya. Membiarkan mereka bebas bermain membuat mereka kreatif dan berinisiatif, tetapi teguran dan peringatan kecil saat mereka mulai melakukan tindakan di luar batas tetap diperlukan untuk mengingatkan mana yang benar dan mana yang salah.
Salah satu sikap yang menurut saya kurang baik yang sering dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya yang masih kecil adalah selalu mengikuti kemauan anak-anak kita saat mereka merengek meminta segala kemauannya. Anak kecil sering merengek untuk dibelikan sesuatu atau meminta sesuatu yang diinginkannya. Dan, dengan alasan sayang orang tua selalu mengikuti semua kemauan anaknya. Menurut saya cara ini hanya menjadikan anak kita pemalas, boros, tidak kreatif, dan terlalu manja.
Meskipun kita memiliki banyak uang untuk membeli dan mencukupi segala kemauan anak kita, tidak sepantasnya kita sebagai orang tua untuk selalu mengikuti kemauan anak kita. Rasa sayang dan cinta kepada anak-anak kita semestinya diwujudkan dengan sikap dan interaksi yang mendalam dengan anak-anak dan tidak dengan memberikan mereka segala materi (harta dan uang). Memang materi diperlukan tetapi dalam mendidik kepribadian dan mental diperlukan prinsip, sikap, dan perhatian yang memadai, tidak sekedar harta yang berkecukupan.
Contoh kecil yang sangat sering saya hadapi adalah saat saya mendengar rengekan anak-anak saya meminta jajan. Anak-anak saya memang anak-anak yang menurut saya agak over dan salah satunya ditandai dengan seringnya mereka merengek meminta jajan. Bagi saya sikap dan prinsip perlu secara disiplin diterapkan bukan semata-mata untuk menghemat pengeluaran tetapi lebih kepada pembentukan karakter. Saya tidak ingin anak-anak saya mempunyai mental selalu meminta-minta. Maka berbagai cara perlu dilakukan untuk mengatasi rengekan anak-anak saya.
Kita harus memberikan pengertian kepada anak-anak kita bahwa mereka tidak harus selalu meminta jajan setiap saat. Ini juga terkadang disertai dengan mengalihkan perhatian mereka kepada bentuk yang lain, misalnya dengan mengajak mereka berjalan-jalan atau memberikan mereka bentuk permainan yang menghibur. Dengan selalu mengajak mereka bermain atau memberikan mereka permainan dapat melupakan keinginan mereka untuk jajan. Di sini diperlukan kesabaran dan ketegasan sikap dari orang tua karena terkadang anak kita merengek sampai menangis untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orang tua kadang merasa kasihan kepada mereka dan akhirnya menuruti kemauan anaknya. kita harus tegas demi kebaikan anak-anak kita juga, bahkan tetap membiarkannya menangis. Sekali lagi saya katakan rasa sayang tidak harus diwujudkan dengan menuruti kemauannya. Justru karena sayang itulah saya bersikeras tidak menuruti kemauan mereka untuk jajan.
Tidak menuruti kemauan anak kita jajan bukan berarti saya sama sekali tidak menyiapkan makanan atau jajanan di lemari kita. Saya terkadang sudah menyiapkan setumpuk makanan yang bisa diberikan kepada anak-anak saat mereka meminta jajan. Tapi kita juga harus tegas dengan hanya memberikannya satu macam yang boleh dimakan saat itu dan menyimpan makanan yang lain untuk waktu yang lain. Ini juga salah satu bentuk latihan kedisiplinan buat saya dan istri sebagai orang tua dan bagi anak-anak saya.
Sikap tegas dan disiplin terkadang juga keras menurut saya perlu dilakukan dalam berinteraksi dengan anak-anak kita. Ini diperlukan untuk melatih mereka berdisiplin dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kita tidak ingin anak-anak kita malas, bukan? Tapi, tentu saja perhatian dan kasih sayang adalah landasan yang harus selalu diterapkan dalam setiap interaksi.
Dan, sepertinya saya dan istri sudah menuai hasilnya. Itu bisa saya rasakan dari sikap anak saya yang pertama, Firdaus. Sebagai anak usia lima tahun yang ditinggal oleh kedua orang tuanya bekerja, Firdaus boleh dikatakan mandiri dan disiplin. Dia tidak pernah bangun tidur kesiangan, kadang tidak lupa untuk salat Subuh, sesuatu yang tidak buruk untuk anak usia lima tahun. Sejak pertama masuk sekolah, dia tidak pernah mau ditemani atau ditunggui oleh orang tuanya atau pengantarnya. Dia cepat bergaul dan berinteraksi dengan orang atau anak yang baru dikenalnya. Memang, Firdaus tidak bisa diam, dia selalu bergerak untuk melakukan apa saja.
Firdaus bisa memanfaatkan barang apapun untuk dijadikan mainannya. Saya perhatikan dia banyak mengumpulkan bungkus kotak bekas susu. Dia bisa mengkhayalkan benda apapun dengan barang bekas yang dia dapatkan.
Tentu saja kami sangat bersyukur memiliki anak yang mandiri dan kreatif. Kami sadar anak adalah amanah dari sang Pencipta buat kita sehingga kami harus menjaga dan mendidiknya dengan cermat.
We wanna be a good parent.
31 July 2008
Who wants to be an editor?
Dibutuhkan oleh suatu perusahaan penerbitan, seorang editor dengan kualifikasi sebagai berikut:
- S1/S2 dari perguruan tinggi negeri
- minimal memiliki IP 3,00
- sanggup bekerja dalam tekanan
- latar belakang pendidikan MIPA, agama, dan ilmu sosial
- memiliki minat dalam bidang pendidikan
Demikianlah kira-kira bunyi iklan lowongan pekerjaan tersebut. Demi melihat lowongan pekerjaan itu, gue yang saat itu memang sedang mencari kerja, langsung melotot dan tertarik dengan lowongan tersebut.
Kualifikasi tersebut memang cocok banget dengan minat dan pengalaman kerja yang gue miliki. Gue yang lulusan PTN dengan latar belakang MIPA memang agak sulit untuk mencari pekerjaan yang sesuai. Saat itu gue masih berstatus sebagai pengajar honorer di sebuah bimbingan belajar. Jadi, saat gue melihat lowongan pekerjaan ini, gue langsung berminat. Surat lamaran dan cv segera gue buat dan gue kirim melalui email.
Dari kualifikasi yang diminta dalam iklan lowongan pekerjaan tersebut, gue mengira posisi yang ditawarkan tentu menjanjikan karir dan pendapatan yang memadai bagi seorang sarjana seperti gue. Karir dan penghasilan yang cukup memang sangat gue butuhkan berhubung saat itu gue baru aja dikaruniai seorang anak dari pernikahan gue dengan seorang wanita minang. Gue sangat berharap bisa meningkatkan taraf hidup gue setelah gue bisa bekerja di perusahaan penerbitan ini.
Dari iklan lowongan tersebut, gue pikir orang yang akan bekerja sebagai editor tentulah orang yang pintar dan memiliki posisi penting dalam perusahaan itu. Wajar saja, kalau gue berharap mendapatkan karir sekaligus penghasilan yang bisa menjamin masa depan gue dan keluarga gue.
Tidak beberapa lama, panggilan untuk tes dan wawancara pun datang sebagai tanggapan atas lamaran yang gue kirimkan. Tentu saja gue sangat gembira menyambutnya. Dalam hati, udah terbayang gue akan mendapatkan pekerjaan yang gue idam-idamkan.
Dan, dengan semangat 45 gue mendatangi kantor perusahaan penerbitan itu. Gue harus menjalani serangkaian tes dan wawancara. Dari tes yang gue jalani, gue masih yakin bahwa pekerjaan editor yang gue lamar ini adalah pekerjaan idaman gue.
Namun, semua bayangan indah tentang pekerjaan sebagai seorang editor menjadi buyar saat tiba gilirannya gue wawancara dengan kepala HRD di perusahaan tersebut. Bayangan gue yang berharap mendapat gaji yang memadai buyar seketika saat sang kepala HRD itu menawarkan jumlah rupiah yang amat tidak memadai dan tidak sesuai dengan tuntutan kualifikasi dalam iklan lowongan pekerjaan di atas. Saat gue kurang tanggap dengan tawaran gaji yang ditawarkan, dengan entengnya sang kepala HRD berkata, “kalau ngga sesuai ya ngga apa-apa, banyak kok orang lain yang mau.” Ini tentu saja sangat dilematis buat gue yang emang butuh banget pekerjaan itu. Dengan berat hati gue terima pekerjaan itu sambil masih bergumam dalam hati seolah ngga percaya dan terbayang lagi beratnya menyongsong masa depan dengan pendapatan pas-pasan seperti ini.
Dan, saat gue sudah berada di dalam perusahaan penerbitan itu, gue ngga sendiri. Di sana gue bertemu dengan editor-editor dengan latar belakang pendidikan yang sangat baik tetapi harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak mendapat penghasilan yang sesuai dengan yang seharusnya. Ngga ada dari mereka yang sungguh-sungguh berhasrat besar untuk menjadi editor melainkan hanya menjalani nasib saja. Editor yang dituntut untuk berpendidikan tinggi, pintar dan cerdas, memiliki prestasi bagus, ide yang cemerlang, dan kreativitas tinggi, serta mental yang kuat karena harus biasa bekerja under pressure, tetapi dihargai dengan sangat murah dan disamakan dengan pekerja yang bekerja dengan ototnya saja. Editor yang bekerja dengan otak dan hatinya tetapi harus berada di bawah kekuasaan orang-orang yang ngga punya otak dan hati. Sungguh ironis, bukan.
Begitulah kira-kira awalnya gue terjerumus ke dalam lembah hitam ini … eh salah, maksudnya awal gue akhirnya menjalani pekerjaan sebagai editor. Pekerjaan yang masih gue jalani sampai saat ini.
Buat gue ini adalah pilihan hidup. Dalam hidup dimana tidak banyak pilihan yang dapat diambil, maka memilih satu pilihan lebih baik daripada tidak punya pilihan sama sekali.
Buat anda yang memiliki pengalaman dan nasib seperti gue, jangan berkecil hati, ya. Paling ngga kita masih memiliki otak dan hati. Itu adalah modal besar yang bisa berguna pada saatnya nanti. Jangan patah semangat.
You can get more money with your brain
Sebagai seorang editor, kita dituntut untuk memiliki kecerdasan dan kreativitas yang tinggi. Ini tentu saja memerlukan kerja otak yang tidak ringan. Syarat untuk menjadi editor pun tidak main-main, dia harus sarjana lulusan perguruan tinggi negeri bahkan ada juga yang magister (S2), mempunyai indeks prestasi minimal 3,00, dan dapat berpikir cepat dalam tekanan. Ini tentu saja hanya dimiliki oleh bukan sembarang orang.
Dengan kriteria seperti itu, tentu orang akan mengira bahwa pendapatan seorang editor pastilah sangat lumayan. Wajar kan orang yang spesial digaji dengan spesial juga. Tapi, orang akan sangat terkejut saat mengetahui bahwa pendapatan seorang editor tidak se-spesial sebagaimana tugas dan fungsi editor itu. Bahkan bisa dibilang seorang editor yang bekerja dengan “otaknya” itu memiliki pendapatan yang sama atau bisa jadi lebih kecil dari pendapatan seorang pekerja yang menggunakan “ototnya” (maaf, bukan berarti saya merendahkan mereka yang bekerja dengan ototnya, tetapi ini hanya sebagai perbandingan saja). Ironis, ya.
Tengok saja, seorang editor yang harus menyelesaikan sebuah naskah untuk dijadikan buku. Naskah itu hanya terdiri dari 30 halaman. Tentu saja ini tidak layak untuk dijadikan sebuah buku (tapi anehnya diterima oleh sang penanggung jawab, chief editor). Kondisi ini memang sangat sering terjadi di dunia penerbitan. Dan, editorlah yang menjadi kreator sekaligus finishing toucher dari naskah yang ngga layak itu. Dia harus menjadikan buku itu menjadi layak. Ini dilakukan dengan menambah halaman buku menjadi 64 halaman (jumlah ini dianggap ekonomis dalam penerbitan) dengan menambah materi dan gambar. Kalo dipikir ini sih sama aja editor yang nulis buku itu, ya kan.
Sebenarnya sebutan editor itu tidak cocok buatnya karena pekerjaan yang harus dilakukan tidak cuma mengedit saja tetapi juga harus merombak, menambahkan, bahkan terkadang harus menulis ulang naskah tersebut agar menjadi buku yang layak dibaca dan laku dijual. Dan, ini ngga pernah dipedulikan oleh sang chief, yang dia tahu buku itu harus selesai dengan baik dan laku dijual. Coba bayangkan, naskah dari penulis tadi (yang ngga layak) sudah disulap sedemikian rupa oleh editor dan laku terjual, tetapi apa yang didapatkan oleh editor? Uang lembur yang hanya cukup buat beli pulsa yang mungkin jauh lebih rendah dari uang lembur setter (yang secara intelektual lebih rendah dari editor, cuma perbandingan aja ya). Sementara, penulis buku itu yang notabene cuma membuat setengah dari buku itu mendapatkan semuanya: nama sebagai penulis (ini sangat mahal nilainya karena bisa menjadi faktor promosi dalam pekerjaannya), uang lelah menulis (yang jumlahnya lumayan lah), royalti (pendapatan pasif yang didapat setiap tahun), dan popularitas (kalo bukunya laku tentu saja penulisnya juga terkenal dong).
Gimana? Layakkah jika seorang editor yang dituntut memiliki kecerdasan dan kreativitas tinggi ternyata mendapatkan pendapatan yang minim yang ngga sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya? Apakah layak seorang editor yang bekerja dalam tataran ide dan kreativitas digaji berdasarkan jam kerja? Di perusahaan penerbitan biasanya berlaku sistem lembur dimana perhitungan lembur itu berdasarkan waktu pekerja itu melakukan pekerjaannya. Lho, editor yang bekerja berdasarkan pikirannya kok dibayar berdasarkan waktu kerja, ngga matching dong.
Tapi, dalam dunia bisnis yang segala sesuatunya diukur dengan pertimbangan untung dan rugi, hal ini sangat wajar. Bisa dikatakan editor adalah korban (tumbal) dari sistem yang kapitalistik. Dalam sistem kapitalistik ini siapa yang bisa menyumbang keuntungan lebih banyak buat perusahaan, dialah yang mendapatkan bagian paling besar. Sialnya, editor sebagai pemain di belakang layar emang paling ngga keliatan perannya dalam bisnis ini. Mereka hanya tau penulisnya lah yang hebat dan pintar, padahal??? Atau, kalau buku itu bisa laku terjual, mereka melihat ini adalah peran pihak marketing. Editor ngga pernah masuk hitungan, kecuali saat terjadi kesalahan, barulah semua orang serentak menunjuk jari telunjuknya kepada editor. Sungguh ironis.
Tapi, itulah kenyataannya. Lagian, siapa suruh jadi editor? Daripada istri dan anak-anak gue kelaparan, ya gue jalanin aja pekerjaan ini sambil bermimpi mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan masa depan yang lebih baik.
Buat rekan-rekan sesama editor, this is tribute to you for your full of dedication and respect in your work.
Peace, ya!
24 July 2008
You can't go far ...
Satu hal lagi, udah beberapa hari ini gue susah akses ke blog atau blogger. Gue coba masukblog gue dan alamat blog yang lain ngga bisa kebuka. Kayaknya, semua situs blog diblokir oleh sang admin. Di sini emang ada admin jaringan yang memantau lalu lintas jaringan dan punya kewenangan memblokir situs yang dianggap ngga perlu dan ngga penting (tapi kalo situs porno ngga pernah diblokir deh kayaknya! aneh khan). Menurut gue ngga penting banget dan kayak ngga ada kerjaan aja ngeblokir blog. Apa salahnya kita ngeblog dengan fasilitas kantor, emang ngga ada kerjaan kok. Kalo pas lagi ada kerjaan sih kita cepet-capet nyelesein kerjaan kita. Jadi, sama sekali ngga mengganggu kerjaan kita, what's wrong?
Walhasil gue jadi agak susah buat posting tulisan gue ke blog. Gue juga jadi males mau nulis, kehilangan selera. Udah koneksi internet hidup mati, akses ke blogger diblokir pula. Gue udah kayak tentara yang kehilangan senapannya, ngga bisa berbuat apa-apa.
Untung aja, ada temen gue yang meminjamkan buku komiknya. Buku komiknya berjudul Ninja Rantaro, yang merupakan versi komik dari film kartun berjudul Ninja Boy. Gue cukup terhibur dengan buku komik ini yang menurut gue lumayan lucu. Buat gue yang pernah menonton film Ninja Boy, sudah sangat familiar dengan karakter tokoh dalam komik ini. Dan, gue ngga bisa nahan diri untuk ketawa sendiri di meja gue saat baca buku ini. Lumayanlah ada hiburan.
20 July 2008
Who need windows Vista?
Semenjak di-launching setahun yang lalu (pertengahan tahun 2007), saya emang pengen banget nyobain sekaligus ngubek-ngubek makhluk yang bernama windows vista itu. Saya pengen membuktikan keampuhan dan kesaktian windows vista, seperti yang digembar-gemborkan banyak pihak. Dan, kesempatan itu ada di hadapanku sekarang.
Sebagai persiapan untuk menginstal windows vista, gue buka-buka lagi majalah chip yang pernah gue beli yang membahas tentang cara instalasi vista. Dari tulisan itu, gue menangkap (kayak ikan aja ditangkap!) ada dua cara menginstal vista.
Pertama, meng-upgrade vista dari windows XP (atau windows versi sebelumnya). Di sini kita seolah-olah menimpa XP yang udah terinstal di komputer kita sebelumnya dengan windows vista. Cara ini kelihatannya menarik dan lebih gampang dilakukan karena kita tinggal melakukan upgrade dan XP langsung berganti dengan vista. Namun, cara ini berisiko karena bisa jadi tidak semua program dan hardware yang ada sudah kompatibel dengan vista yang baru terinstal. Misalnya, driver-driver dari hardware yang terinstal belum tentu cocok dengan vista. Karena saat kita menginstal driver kita menggunakan driver dalam platform XP bukan vista. Jadi, cara upgrade dari XP langsung ke vista perlu diperhitungkan masak-masak.
Kedua, melakukan instalasi baru. Di sini kita melakukan instalasi vista di ruang harddisk yang berbeda dengan ruang untuk windows yang sudah ada sebelumnya. Kita bisa membuat komputer kita memiliki dua sistem operasi (OS), yaitu windows XP yang sudah kita instal sebelumnya dan windows vista yang akan kita instal. Kita bisa menempatkan tiap-tiap OS di partisi harddisk yang berbeda.
Perlu diketahui bahwa harddisk yang kita punya bisa dipartisi (atau dibagi) menjadi beberapa bagian, yang paling umum adalah dua bagian yang biasanya dinamakan volume C dan D. Windows XP biasanya terletak di C dan D biasanya untuk menyimpan berbagai data. Ketika kita ingin menginstal sistem operasi baru misalnya windows vista, kita bisa meletakkannya di D.
Cara kedua ini yang pengen gue lakukan. Lagi pula cara kedua ini menurut gue lebih aman. Karena banyak kasus di mana windows vista mengalami berbagai masalah. Dengan menggunakan dua OS kita bisa berpindah dari XP ke Vista atau sebaliknya jika di satu OS (misalnya vista) mengalami masalah. Selama ini kita sudah terbiasa menggunakan windows XP dan sayang untuk ditinggalkan. Di lain pihak, tidak ada salahnya mencoba sistem operasi yang baru seperti windows vista yang digembar-gemborkan sebagai sistem operasi yang handal. Ini yang membuat gue penasaran untuk mencobanya. Dengan menggunakan dual OS kita bisa berganti-ganti OS, XP dan vista.
Tapi tampaknya gue akan menemui ganjalan untuk menginstal vista di komputer gue. Informasi yang gue dapet di majalah chip, untuk menginstal vista diperlukan minimal kapasitas sebesar 20 GB (bahkan sumber lain mengatakan minimal 40 GB) ruang di harddisk. Ini masalahnya, karena gue lihat kapasitas volume D di komputer gue cuma 18 GB dan total kapasitas harddisk komputer gue cuma 40 GB. Gue ngga yakin bisa dan apakah menginstal vista perlu dilakukan.
Bisakah gue menginstal vista dengan kapasitas harddisk terbatas seperti ini? Apakah gue perlu menginstal vista di komputer gue?
Who need windows vista?
04 July 2008
Transformasi Lorentz
Gue yang sekarang ini memang lain dengan gue waktu masih kuliah dulu. Dulu, gue dikenal sebagai cowok yang selalu mengisi hari-hari siang malem dengan aktivitas dakwah dan tarbiyah. Gue yang ngga pernah memandang cewek (akhwat) yang bukan muhrimnya. Gue yang senang mengkaji ilmu al-quran dan menghafalkan al-quran. Gue yang cuma mengenal tiga tempat: kampus, perpustakaan, dan masjid. Cewek dan pacaran adalah dua kata yang bisa membuatnya muntah karena jijiknya. Gue hidup dengan segudang idealisme tanpa pernah melihat realitas yang ada. Saat itulah liqo dan tarbiyah adalah dua kata indah dan wajib dalam hidup gue.
Waktu itu juga segala yang berhubungan dengan musik, nyanyian, dan film gue singkirin dari kamus hidup gue. Karena bagi kami hal itu sia-sia dan maksiat. Sebagai gantinya kami menggelorakan semangat kami melalui nasyid. Itu loh nyanyian tanpa musik yang mengobarkan semangat jihad, atau nyanyian yang hanya diiringi oleh gendang (tapi bukan dangdut ya!). Kami benar-benar menjaga diri kami dari hal-hal yang nyerempet maksiat dan sia-sia.
Itu bisa aja dilakukan waktu gue masih kuliah. Saat di mana kita bisa melakukan apa saja yang kita mau tanpa ada yang bisa menggugat. Mahasiswa gitu loh, apa pun bisa gue lakukan. Persetan dengan dunia dan orang lain. Gue seolah berada di dunia lain, dunia antah berantah yang sangat jauh berbeda dengan dunia tempat kita hidup. Saat itu gue ngga pernah berpikir bahwa gue ngga akan selamanya di kampus dan satu saat akan terjun ke masyarakat. Gue ngga pernah berpikir bahwa gue harus membuka mata terhadap masyarakat sekitar.
Tapi, gue baru sadar saat gue lulus kuliah dan dihadapkan dengan realitas dan dunia nyata. Gue baru agak ngeh dan sadar bahwa selama ini gue bagaikan katak di dalam tempurung. Gue cuma mengenal idealisme sebagai realitas semu tanpa sadar akan realitas yang sesungguhnya.
Saat gue kuliah dulu kebetulan gue tergabung dalam komunitas yang mengusung idealisme yang sama. Kami sangat kuat memegang prinsip dan keyakinan. Maklum, anak kuliah yang sedang on fire. Kami membangun ikatan hati dan ukhuwah dan mematok target besar di masa datang.
Dalam suasana seperti itulah gue memutuskan untuk mencari pendamping hidup yang memiliki kesamaan visi dan pandangan. Waktu itu idealisme gue udah agak menurun karena gue sadar diperlukan sesuatu yang lebih besar dari sekedar idealisme, gue perlu mempertimbangkan masa depan buat keluarga gue.
Masih dalam suasana tarbiyah, gue memilih pendamping hidup gue. Padanya gue menggantungkan masa depan anak-anak gue. Saat inilah gue benar-benar dibenturkan pada dua hal yaitu menjaga prinsip dan keyakinan, dan memperoleh pekerjaan dan karir untuk masa depan keluarga gue. Gue dihadapkan pada kenyataan dimana gue harus memilih menikmati pekerjaan dimana gue harus berhadapan dengan segala risiko dan konsekuensi dari pekerjaan yang terkadang tidak sesuai dengan prinsip kita dan menjaga prinsip dan keyakinan kita dengan kuat.
Akhirnya, gue ngga bisa lagi menjaga prinsip gue dengan teguh dan terbawa pada arus dan kenyataan yang harus gue hadapi. Dan sialnya gue merasa sangat nyaman dengan kondisi ini. Di lain pihak gue jadi merasa asing dengan komunitas yang gue pernah menjadi bagian penting darinya. Gue udah jauh dari aliran dan arus komunitas itu sehingga dengan berat hati gue memutuskan ikatan dengannya.
Saat ini, semua hal yang dulunya tabu dan haram buat gue dengan santainya gue nikmati seolah-olah gue bukan orang yang pernah membenci hal itu. Apakah ini suatu kematangan hidup? ataukah gue yang emang ngga pernah sungguh-sungguh menjalankan kehidupan gue yang dulu itu?
Gue merasa telah mengalami transformasi, yaitu perubahan bentuk dan karakter. Meminjam istilah dalam fisika: transformasi lorentz.
Perlukah gue kembali ke kehidupan gue yang dulu?
To be continued ...
03 June 2008
What a man say about woman?
Saya sendiri bukan tipe suami yang mengharuskan istri saya selalu siap menemani dan melayani saya kapan pun saya mau. Saya juga mengijinkan istri saya bekerja tetapi tidak memandang remeh wanita yang memilih untuk fokus mengurus suami dan keluarganya. Bagi saya setiap wanita atau istri mempunyai hak untuk menentukan pilihannya apakah mau bekerja atau ingin fokus mengurus anak-anak sebagai ibu rumah tangga. Tentu saja setiap pilihan memiliki konsekuensi sehingga mereka harus siap dengan konsekuensi itu.
Sebagai gambaran dari perasaan saya terhadap wanita, di sini saya ceritakan bagaimana saya memandang istri saya sebagai wanita dengan seabreg aktivitas dan ibu dari anak-anaknya.
I called my wife as wonder woman or super women. Alasannya, dengan seabreg kegiatannya dari pagi sampe malem dan dari ahad sampe sabtu yang seolah tanpa henti, dia tetap bisa menemani anak-anak dan istrinya di saat kami membutuhkan. Memang sih saya terkadang harus bikin mie sendiri buat saya atau anak saya, tetapi hal ini bukan masalah buat saya. Saya tidak menganggap istri saya durhaka atau tidak taat kepada suami di saat dia alpa atau lupa untuk melayani keperluan saya.
Dia lebih dikenal di lingkungan rumah kami karena sikapnya yang fleksibel dan punya rasa sosial yang tinggi. Memang sih karena profesinya sebagai guru dan mengajar di sekolah yang dekat dengan rumah kami, hal ini menjadi mudah dan mendukung baginya. Hal ini sebenarnya agak ironis mengingat dia selalu berpakaian yang tertutup dengan jilbab panjang dan baju gamisnya. Namun, ini bukan halangan baginya untuk bersikap terbuka kepada semua orang baik laki-laki maupun perempuan.
Selain bekerja sebagai guru yang secara full selama lima hari, dia juga punya aktivitas sosial bersama rekan-rekannya di sebuah yayasan. Mereka sering mengadakan acara setidaknya dalam seminggu selalu berkumpul. Tidak jarang dia harus pulang malam atau harus merelakan hari sabtu dan minggu untuk mengikuti kegiatan sosial atau kegiatan dari sekolahnya.
Bahkan enam bulan terakhir ini dia harus mengikuti kuliah di hari sabtu dan minggu untuk melengkapi syarat menjadi guru. Lengkap sudahlah kesibukannya selama seminggu penuh.
Untung saja dia juga memiliki ibu yang menurut saya bisa juga dijuluki super woman. Dialah yang selama ini menjadi dewa penyelamat kami jungkir balik mengurus anak-anak kami.
Bukan masalah buat saya ketika saya harus menyiapkan makanan dan minuman sendiri di kala istri saya sibuk dengan pekerjaannya sebagai guru yang akan menyiapkan generasi penerus bangsa yang tangguh. Tidak pantas buat saya untuk merasa kesepian ketika istri saya kecapekan setelah seharian sibuk dengan aktivitas sosialnya bagi masyarakat. Justru saya merasa kagum dan beruntung memiliki wanita pendamping seperti dia
Saya sangat kagum pada wanita yang satu ini yang telah enam tahun ini menemani saya, ya dialah istri saya. Menurut saya dialah wanita ideal dambaan setiap pria. Tidak semua pria memandang wanita dari segi fisik semata tetapi kecantikan hati atau inner beauty itulah sebaik-baik nilai seorang wanita.
Be a strong and super woman like her!
Obrolan kecil di pagi hari
Karena ngga bawa makan siang, gue pengen beli nasi uduk buat makan siang. Nasi uduk ini menurut gue agak spesial karena gue belum pernah ngerasaan nasi uduk yang enak dibandingkan nasi uduk ini. Penjual nasi uduk ini berjualan di dekat rumah gue satu arah menuju tempat gue nungguin angkot.
Pagi ini iseng-iseng kami bertanya kepada ibu penjual nasi uduk saat dia sedang menyiapkan nasi uduk yang kami pesan. "Bu, jam berapa mulai masak untuk nyiapin nasi uduk ini?" tanya kami. Ibu penjual nasi uduk itu menjawab dengan santai dan tanpa beban, "Saya mah bangun jam 3 pagi dan mulai masak nasi uduk. Sambil mencuci baju dan menyetrika saya juga menggoreng tempe dan bakwan." Dan, pagi itu seperti biasa semua hidangan sarapan pagi telah siap sedia.
Kami agak terkejut dan langsung terkagum-kagum dalam hati. Ternyata tidak mudah dan butuh perjuangan yang keras ya, menjalani hidup seperti ini. Bayangkan, ibu itu sudah memulai hari-harinya semenjak jam 3 pagi untuk berusaha mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan berjualan nasi uduk. Jam 3 pagi di saat banyak orang masih terbuai oleh mimpi-mimpinya, ada orang-orang "hebat" yang telah memulai perjuangannya menjalani kehidupan yang keras. Tapi, itu belum seberapa ...
Belum hilang rasa terkejut dan rasa kagum kami, kami lanjut bertanya, "Wah, pagi-pagi sudah sibuk, ya. Trus habis jualan ini, ibu baru bisa istirahat dong?" Tetap dengan ekspresi yang santai ibu itu menjawab lagi, "Setelah berjualan nasi uduk ini, Saya pergi ke pondok (maksudnya perumahan pondok sukma jaya) untuk mencuci." Awalnya kami belum paham maksud kata-kata ibu ini, tapi kami langsung ngeh, oh ternyata ibu itu juga menjadi pembantu rumah tangga di salah satu rumah di Perumahan Pondok itu. Dia membantu tuan rumah mencuci dan menyetrika pakaian mereka. Kami benar-benar kagum dengan apa yang baru saja kami dengar tadi.
Seorang ibu yang benar-benar menunjukkan kepada kami betapa hidup itu adalah suatu perjuangan tanpa henti dan tanpa kenal lelah. Kami membayangkan seorang perempuan yang telah bangun jam 3 pagi untuk menyiapkan dagangannya berupa nasi uduk dan pernik-perniknya. Kemudian di siang harinya dia harus menjalani tugasnya untuk mencuci dan menyetrika pakaian di rumah majikannya. Entah jam berapa dia memiliki waktu untuk dirinya, waktu untuk beristirahat. Karena mungkin di sore harinya dia harus menyiapkan bahan-bahan untuk nasi uduknya di pagi hari. Demikianlah setiap hari dia menjalani kehidupannya yang keras tanpa putus asa dan tanpa kenal lelah. Dan kami tidak mendapati sedikit pun kesusahan dan kesedihan dalam wajahnya yang selalu ramah melayani pelanggannya termasuk kami. Sungguh suatu pelajaran berharga di pagi hari ini.
Yang kami tahu, ibu itu selalu siap melayani pelanggannya setiap pagi. Pelanggan yang tidak sabar ingin mengisi pagi harinya dengan sarapan yang nikmat. Yang kami tahu, banyak pelanggannya tidak sabar menunggu datangnya pagi hari, waktu di mana mereka dengan setia datang membeli nasi uduknya yang spesial.
Setelah saya membayar nasi uduk itu, saya melanjutkan perjalanan saya ke kantor. Dalam hati saya bersyukur bahwa obrolan kecil di pagi hari ini telah membuka mata saya bahwa banyak pejuang-pejuang hidup yang dengan segenap kemampuannya menjalani kehidupannya tanpa kenal lelah. sekarang bandingkan dengan diri kita yang telah banyak mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam hidup ini, masih saja kita mengeluh dan tidak bersyukur dengan kemudahan-kemudahan itu. Saya jadi malu sendiri.
Saya yakin masih banyak perempuan-perempuan "super" yang lain. Yang tidak tunduk dan pasrah pada kelemahan dan kenyataan hidup yang harus mereka jalani. Sesungguhnya merekalah para pahlawan. Merekalah para pejuang hidup yang dengan gagah berani menghadapi kenyataan hidup tanpa kenal lelah dan pantang menyerah.
Sudahkah kita mensyukuri nikmat-nikmat yang kita dapatkan?
28 May 2008
Mengapa Mereka (Tidak) Suka Pelajaran Fisika?
Kalau Anda tidak percaya coba kita ingat-ingat kembali bagaimana kita dulu ketika sekolah menghadapi pelajaran fisika, pasti yang kita alami adalah kisah sedih di hari minggu (eh salah!) maksudnya tidak menyenangkan. Ingatan kita tentang fisika selalu dipenuhi dengan duka dan sedih (nggak ada senangnya sama sekali!). Ada yang gurunya galak, ada yang gurunya cuek, sering bolos, dihukum guru karena nggak ngerjain PR, dan lain-lain. Begitu bukan (hayo ngaku aja deh!).
Jadi, pertanyaan di atas: “Mengapa mereka tidak suka (benci) pelajaran fisika?” memang pantas dikemukakan dan dianalisis.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pelajaran fisika adalah salah satu pelajaran yang paling dihindari di sekolah khususnya tingkat SMA. Banyak kisah-kisah yang tidak menyenangkan yang terjadi saat menjalani pelajaran fisika di sekolah sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Keadaan ini sungguh ironis mengingat ilmu fisika adalah salah satu ilmu yang harus dikuasai bagi mereka yang ingin kuliah di perguruan tinggi dalam bidang eksakta (bidang MIPA, kedokteran, teknik, dan ilmu komputer).
Selama ini kita juga tidak pernah mau mengakui bahwa pelajaran fisika di SMA adalah sulit. Kita selalu mengatakan tidak ada pelajaran yang sulit kalau pelajaran tersebut dipelajari dengan rajin dan sungguh-sungguh tanpa pernah mau melihat bagaimana sulitnya siswa SMA mempelajari dan memahami pelajaran fisika di sekolah. Bisa jadi karena sulitnya memahami fisika itulah yang menyebabkan mereka membenci pelajaran fisika.
Sekarang, coba kita tengok buku pelajaran fisika yang dipakai oleh anak SMA sebagai sarana memahami pelajaran fisika. Walaupun penampilan fisik buku pelajaran itu sangat menarik tetapi tidak demikian halnya dengan isinya. Apabila kita terkagum-kagum dengan penampilan buku itu jangan kaget kalau Anda tidak akan mampu berlama-lama membaca buku fisika itu karena susahnya dan tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan kehidupan sehari-hari.
Tanpa kita sadari kita telah membiarkan siswa SMA mempelajari pelajaran fisika yang sulit itu. Di sini kita juga perlu pahami juga bahwa mereka tidak hanya belajar pelajaran fisika saja tetapi mereka juga harus belajar pelajaran lain yang tingkat kesulitannya tidak kalah dengan pelajaran fisika seperti matematika. Pernahkah kita bayangkan bagaimana sulitnya hal ini? Bukankah ini sama halnya dengan membiarkan mereka atau bahkan memaksa mereka menelan sesuatu yang keras dan pahit yang mereka sulit untuk menelannya?
Berdasarkan pengalaman penulis yang selama ini menggeluti pendidikan fisika, ada dua faktor yang bisa dikemukakan berkaitan dengan pertanyaan sebagai judul tulisan ini, yaitu guru dan kurikulum fisika di sekolah.
Guru sebagai ujung tombak
Kita harus berani mengakui bahwa guru berperan besar dalam menjadikan pelajaran fisika sulit dan tidak menarik minat siswa untuk mempelajarinya. Fakta ini didukung oleh pendapat banyak siswa sekolah yang pernah penulis temui. Dari pengalaman siswa tersebut, penulis mendapati banyak guru fisika yang tidak punya motivasi dan semangat untuk mengajar pelajaran fisika. Entah karena malas atau kurang menguasai materi pelajaran, sering guru tidak hadir di kelas dan kalaupun hadir tidak memberikan pelajaran sesuai dengan waktu yang tersedia. Sering waktu pelajaran di kelas diisi dengan mencatat ataupun mengerjakan tugas tanpa siswa diberi wawasan secukupnya tentang materi tersebut. (Ini bisa jadi terjadi pada semua pelajaran bukan hanya pelajaran fisika saja.)
Ada juga guru yang untuk menutupi kemalasannya dan ketidakmampuannya menguasai materi memberikan tugas kepada siswa untuk merangkum materi pelajaran atau membuat makalah dengan topik materi pelajaran yang akan diajarkan. Dengan siswa telah membuat rangkuman atau makalah guru menganggap siswa sudah mempelajari materi tersebut dan menganggap siswa sudah mampu menjawab semua pertanyaan yang berkaitan dengan materi tersebut. Wow, hebat sekali ya! (Jadi, ngapain aja tuh guru?)
Guru yang lainnya, untuk menutupi kemalasannya dan kekurangannya, ada yang memanfaatkan otoritasnya dengan bersikap galak kepada siswa. Ini diharapkan dapat menarik perhatian siswa terhadap pelajaran yang diajarkannya sehingga guru akan lebih leluasa mengajarkan materi pelajaran. Tetapi, sikap ini malah menambah kebencian siswa kepada guru sekaligus juga terhadap pelajarannya. Menurut pengamatan penulis kebanyakan guru yang mengajar fisika dianggap sebagai guru killer karena galak dan memanfaatkan otoritasnya untuk mendapatkan perhatian siswa. Ini adalah salah satu alasan kenapa pelajaran fisika tidak disukai. Apakah seperti ini sikap guru yang sesungguhnya?
Wajar saja kalau pelajaran fisika dianggap sulit lha wong gurunya saja tidak pernah memberikan pelajaran sama sekali dan lebih suka marah-marah ketimbang mengajar. Dari mana siswa mendapat tambahan pengetahuan kalau bukan dari guru? Padahal guru bertanggung jawab untuk mengantarkan siswa memahami pelajaran dan membimbing siswa untuk menerapkan pelajaran yang diajarkannya.
Berdasarkan pengalaman penulis, sebenarnya banyak cara, metode, dan sarana yang bisa dijadikan bahan dalam mengajarkan materi fisika sehingga dapat menjadi lebih mudah. Sebagai contoh ketika mengajarkan materi termodinamika seorang guru dapat menganalogikan hukum termodinamika I dengan krupuk yang sedang digoreng. Krupuk yang digoreng (diberi panas) akan mengalami perubahan volume (membesar) dan kenaikan suhu. Ini sesuai dengan hukum termodinamika I bahwa Q = ΔU + P.ΔV (panas Q mengakibatkan kenaikan suhu (energi dalam) ΔU dan pertambahan volume P.ΔV). Bukankah cara ini lebih efektif? Dan banyak lagi contoh yang bisa dipakai.
Tidak pantas bagi seorang guru yang membiarkan siswanya tidak mendapat tambahan pengetahuan. Dan, kebanggaan bagi guru yang mampu menanamkan pengetahuan kepada siswanya dan pengetahuan itu bermanfaat bagi kehidupan di masa yang akan datang. Jadi, kepada guru fisika marilah kita perbaiki sikap dan metode pengajaran yang selama ini kita jalankan dalam mengajarkan fisika. Dengan memperbaiki sikap dan metode pengajaran kita adalah salah satu jalan untuk membuat pelajaran fisika itu lebih disenangi dan mudah bagi siswa.
Kurikulum sebagai pedoman (kitab suci)
Materi yang harus dipelajari oleh siswa tentang fisika begitu banyak dan mendetail yang masih perlu dipertanyakan haruskah materi ini diajarkan pada tingkat sekolah menengah. Perubahan kurikulum pada dasarnya tidak banyak mengubah materi pelajaran fisika ini karena hanya mengubah susunan atau struktur materi pelajaran. Perubahan kurikulum tidak pernah sama sekali menyentuh hal apakah materi ini layak dan harus diajarkan pada tingkat sekolah menengah. Pelajaran fisika yang selama ini kita pelajari di tingkat sekolah menengah seharusnya dipelajari di tingkat yang lebih tinggi (apa karena ini siswa kita banyak yang menggondol medali emas olimpiade fisika?).
Kurikulum yang ada selama ini hanya mampu diikuti oleh segelintir siswa saja yang mampu sedangkan sebagian besar siswa tidak dapat mengikuti apa yang ada di kurikulum. Seharusnya kurikulum dibuat untuk dapat diikuti oleh semua siswa, tidak hanya oleh segelintir siswa yang pintar saja. Berdasarkan pengalaman penulis untuk menjelaskan satu bagian (misalnya, hukum termodinamika I) saja dibutuhkan waktu yang cukup lama. Dan belum tentu bisa dipahami oleh semua siswa karena kemampuan masing-masing siswa berbeda-beda. Akibatnya, tidak cukup waktu yang tersedia untuk menyelesaikan seluruh materi yang ada dalam kurikulum.
Akan tetapi, karena kurikulum telah dijadikan pedoman dan bahkan seolah-olah bagaikan kitab suci yang wajib digunakan, kekurangan-kekurangan yang ada dalam kurikulum tidak bisa diganggu gugat. Ini menjadi beban tersendiri buat guru dan siswa.
Menurut pandangan penulis pelajaran fisika seharusnya diarahkan untuk dapat membantu memecahkan masalah yang sering timbul dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran fisika bukan sekedar membahas seluruh aspek dari hukum-hukum fisika secara detil sekaligus menyelesaikan semua perhitungan yang berkaitan dengan hukum tersebut tanpa siswa mengetahui apa manfaat yang nyata dari hukum-hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Bisa dikatakan kurikulum yang ada kurang membumi yang membuat siswa kurang berminat mempelajarinya.
Kurikulum yang terlalu padat dan kurang membumi diperparah oleh ketersedian buku sebagai pegangan guru dan siswa dalam pengajaran fisika di sekolah. Ya, harus diakui bahwa buku pelajaran adalah salah satu elemen penting dalam proses pendidikan di sekolah tak terkecuali dalam pelajaran fisika. Di atas telah disebutkan bahwa buku fisika sebagai pengantar memahami pelajaran fisika yang ada tidak representatif. Ini bukan berarti penulisnya yang salah ataupun penerbit yang tidak bertanggung jawab. Penulis maupun penerbit merasa mereka telah membuat buku sesuai dengan kurikulum yang terbaru (kurikulumnya aja ngga jelas!). Dan mereka beralasan buku yang tidak sesuai kurikulum (walaupun lebih membumi dan lebih bisa dibaca (ada ngga ya!)) tidak akan laku dijual. Buku yang sedianya menjadi salah satu elemen penting dalam pendidikan telah terperangkap dalam bisnis semata dan seolah-olah mengabaikan aspek pendidikan. Praktik bisnis ini membuat tidak ada penerbit yang berani membuat buku yang lepas dari pakem dan belenggu kurikulum sehingga buku tersebut bisa lebih membumi dan mudah dipahami.
Salah satu ganjalan lain berkaitan dengan kurikulum yang membuat pelajaran fisika menjadi terlihat sulit adalah adanya ujian nasional (UN) sebagai standar kelulusan. Pelajaran fisika (atau sains pada umumnya) yang sedianya dapat dieksplorasi menjadi lebih menarik terbentur oleh batasan-batasan standar ujian nasional. Dengan adanya batasan-batasan ini guru menjadi terbelenggu dan membatasi pengajarannya hanya pada materi yang diprediksi akan keluar dalam UN. Pengajaran fisika yang dapat diarahkan agar lebih menarik digantikan oleh pembahasan soal-soal untuk menghadapi UN. Keindahan ilmu dan penerapan fisika serta merta akan tertutup oleh kekhawatiran bagaimana menyelesaikan soal UN dengan benar. Tentu saja siswa akan merasa bosan dengan metode pengajaran seperti ini tapi apa boleh buat daripada tidak lulus UN bisa berabe. (Mau ditaruh di mana muka gue kalo ngga lulus UN!)
Dengan argumen yang telah dipaparkan di atas, akankah kita diam saja membiarkan praktik semacam ini berlangsung terus?
Penulis yakin apabila pelajaran fisika bisa diarahkan agar lebih membumi dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari akan lebih mudah untuk memahami pelajaran fisika. Dengan demikian, guru juga lebih mudah untuk mengajarkan pelajaran fisika kepada siswa. Dan, pada saat itu tidak akan ada lagi ungkapan bahwa fisika itu sulit.
Dan, karena ilmu fisika merupakan ilmu dasar yang menjadi landasan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, usaha untuk menjadikan fisika lebih familiar dan akrab buat siswa adalah langkah strategis. Diperlukan usaha yang terpadu dan sungguh-sungguh dalam langkah strategis ini yang meliputi pembenahan guru dan kurikulum.