22 December 2008

Menjadi muslim yang profesional dengan konsep tawazun

Dalam menjalani kehidupan sehari-hari seorang muslim melakukan banyak hal mulai dari keluarga dan kehidupan sosial, sampai profesi dan pekerjaan. Dalam menjalani kehidupannya tersebut seorang muslim harus melakukannya secara proporsional dan seimbang. Proporsional dan seimbang ini bukan berarti melakukannya dengan porsi yang sama antara satu bagian dengan bagian yang lain, melainkan sesuai dengan proporsi dan prioritas. Di sinilah konsep tawazun menjadi penting dan perlu diangkat kembali ke permukaan.

Dalam Islam seorang muslim mempunyai kewajiban-kewajiban yang diembannya dalam seluruh aspek kehidupannya dan sesuai dengan minat dan potensi yang dimilikinya. Tidak semua muslim harus berprofesi sama (misalnya, harus menjadi guru) tetapi seorang muslim bebas menjalani profesi yang sesuai dengan kecenderungan, minat, dan potensi yang dimilikinya. Namun, sesuatu yang pasti adalah setiap muslim adalah seorang dai yang mengemban amanat untuk menyebarkan, mensyiarkan, dan memberikan teladan islam kepada orang lain, masyarakat, dan umat manusia. Dalam hal ini seorang dai bukanlah seorang dengan pakaian islami yang menyampaikan konsep islam di mimbar-mimbar saja, melainkan seorang dengan wawasan keislaman yang terbentuk dan terintegrasi baik dalam kata-kata maupun perbuatan yang setiap kata-kata dan perbuatannya bermanfaat bagi orang lain dan alam sekitarnya.

Dengan predikat sebagai dai itulah seorang muslim bergaul, berinteraksi, menyatu, dan memberikan pandangannya dalam berbagai aspek kehidupan manusia dengan berbagai profesi yang dia miliki. Kekuatannya adalah sejauh mana dia dapat berinteraksi dengan masyarakat, menyampaikan, dan mewarnainya dengan nilai-nilai keislaman dalam bentuk kata-kata, perbuatan, dan aksi positif tanpa terpengaruh dan terjerumus dalam gaya hidup masyarakat di mana dia berinteraksi.

Di sinilah konsep tawazun menjadi konsep yang penting yang perlu dimiliki oleh setiap muslim plus (muslim yang mengemban amanah sebagai dai). Seorang muslim perlu memperhatikan setiap aspek kehidupannya secara menyeluruh. Ini berarti baik jasmani dan rohani, keluarga, pekerjaan, masyarakat, diri sendiri, maupun orang lain perlu diperhatikan dan diperlakukan secara seimbang dan proporsional. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah seimbang antara dunia dan akhirat. Dalam surat al-qashas ayat 77 Allah berfirman untuk memperhatikan dunia dan akhirat secara seimbang.

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.

Dalam menyampaikan dakwah dan syiar Islam, seorang muslim tidak perlu menunggu sampai berdiri di atas mimbar dan di hadapan orang banyak. Bahkan perbuatan, tingkah laku, dan tutur kata yang Islami dan menyentuh hati lebih mulia dan lebih mencerminkan sikap seorang muslim sejati dibandingkan kata-kata kosong di hadapan orang banyak. Oleh karena itu, ruang kerja, warung tempat berbelanja, halte tempat menunggu bis (atau stasiun), dan setiap tempat (di bumi) di mana seorang muslim berpijak merupakan mimbar-mimbar tempat menyampaikan dakwah dan syiar Islam melalui sikap, tutur kata, dan perbuatan yang Islami.

Seorang office boy yang menunjukkan sikap, tutur kata, dan perbuatan yang Islami lebih mulia dibandingkan seorang manajer yang kurang disukai bawahannya karena sikapnya yang kurang baik. (Namun, tentu saja seorang manajer yang menunjukkan sikap, tutur kata, dan perbuatan yang Islami dan tulus ikhlas tanpa pamrih jauh lebih baik).

Sikap seperti ini hanya bisa diperoleh melalui pemahaman yang baik terhadap konsep tawazun. Seorang muslim yang tawazun tidak hanya memikirkan dirinya sendiri melainkan juga menjaga sikapnya agar bermanfaat bagi orang lain. Karena berbuat baik dan bermanfaat bagi orang lain tidak mendapatkan balasan langsung di dunia tetapi di akhirat, maka sikap ini tentu lahir dari pemahaman yang mendalam atas konsep keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.

Sikap tawazun akan menjadi landasan yang kokoh bagi seorang muslim yang profesional. Setiap muslim dituntut untuk menjadi manusia-manusia yang profesional dan menjadi teladan bagi umat manusia. Apapun profesi yang dijalaninya, seorang muslim harus selalu menjalankannya secara profesional, dan sikap tawazun adalah landasan yang amat diperlukan dalam proses ini.

Seorang muslim belum dikatakan sebagai manusia yang sukses apabila kecemerlangan dan kehebatan kariernya tidak disertai dengan keharmonisan dalam hubungan keluarga dan sosial. Seorang manajer belum dikatakan sempurna dan cakap apabila tidak memiliki kemampuan berinteraksi secara sosial yang baik. Di sinilah diperlukan sikap tawazun yang menjadi landasan sikapnya secara integral.

15 December 2008

Firdaus dan masjid

Masjid adalah salah satu tempat yang disukai firdaus. Masjid adalah kata yang diucapkannya saat ada yang mengajaknya untuk salat. Seperti siang itu, saat saya mengajaknya untuk salat zuhur, dengan spontan firdaus menjawabnya dengan pertanyaan “di masjid, yah?” padahal saat itu saya mengajaknya salat bareng di rumah karena waktu sudah lewat. Namun, firdaus selalu mengasosiasikan salat dengan masjid, makanya saat dia ditanya atau diajak salat dia selalu menghubungkannya dengan masjid.

Saat pertama kali saya ajak dia untuk salat ke masjid, dia langsung merasa nyaman di dalamnya. Ini bisa jadi pertanda bagus, tetapi jika dipikir bahwa masjid adalah tempat suci untuk salat, saya sedikit khawatir dengan rasa nyamannya itu. Sebagai anak yang lumayan aktif, firdaus tidak pernah bisa diam saat sedang salat. Dia tidak bisa diam di tempatnya tetapi selalu ingin bergerak. Inilah yang membuat saya khawatir.

Dan kekhawatiran saya pun terbukti. Pernah satu saat ketika kami sedang salat berjamaah di masjid, dengan santainya dia berlari-lari di depan orang salat. Tentu saja saya merasa bersalah dan ngga enak hati dengan jamaah salat yang lain yang kebetulan rata-rata sudah bapak usia 40-an ke atas.

Di waktu yang lain, firdaus yang awalnya berada di samping saya, sudah tidak ada lagi di samping saya sesudah kami berdiri dari sujud. Ternyata, dia sudah berlari ke belakang masjid saat orang-orang sedang sujud.

Meskipun dia sudah berkali-kali mengatakan dan berjanji untuk tidak jalan-jalan lagi saat salat di masjid, dia tetap saja dengan kelakuannya yang mengganggu itu. Ini membuat saya khawatir dan akhirnya tidak pernah mengajaknya salat ke masjid selama beberapa waktu.

Seiring dengan berjalannya waktu, firdaus yang sudah bersekolah sudah mulai sedikit mengerti tata cara dan sikap saat salat jamaah di masjid. Kali ini dia sudah mulai mau berdiam saat salat dan mengikuti salat dari awal sampai akhir. Saya gembira dengan keadaan ini. Bisa jadi, ini adalah salah satu pelajaran yang dia dapat di sekolah TK Islam.

Dengan sikapnya yang lebih baik saat salat jamaah di masjid, saya tidak ragu-ragu dan tidak pernah ketinggalan mengajaknya salat di masjid. Salat magrib, isya, zuhur, asar, dan bahkan salat subuh pun saya tidak pernah ketinggalan mengajak firdaus ke masjid. Firdaus pun dengan senang hati selalu mau ikut salat ke masjid.

Sampai pada satu waktu di bulan ramadan ini, saya mengajaknya salat subuh di masjid setelah makan sahur. Saya yang sudah berwudu langsung masuk ke masjid untuk bergabung dalam barisan jamaah salat sedangkan firdaus yang belum berwudu pergi ke belakang untuk berwudu. Saya pun salat seperti biasa tanpa mengkhawatirkan firdaus karena biasanya firdaus sudah paham dan langsung masuk jamaah salat setelah selesai berwudu. Saya tidak tahu posisi firdaus saat salat tetapi saya tidak begitu khawatir karena dia sudah terbiasa begitu. Setelah salat subuh selesai, firdaus pun mendatangi saya dan mengajak pulang. Saya pun mengikutinya. Namun, saya sangat terkejut saat melihat celananya yang basah. Dan kekhawatiran saya terjadi, firdaus kencing di celana alias ngompol!! Wah, ini benar-benar di luar dugaan.

Saat perjalanan pulang ke rumah firdaus mengaku bahwa dirinya ngompol karena udah kebelet pipis dan ngga bisa ditahan lagi. Ini menjadi pelajaran buat saya dan firdaus untuk tidak mengulanginya di waktu yang akan datang.

Saya pun meminta maaf kepada pengurus masjid dan menawarkan untuk membawa karpet yang terkena pipis firdaus untuk di-laundry. Namun, pengurus mesjid lebih memilih untuk membersihkannya sendiri. Jadi, saya berjanji untuk memberi sedikit uang sebagai uang lelah buat pengurus masjid itu.

Selembar uang 20.000 lama

Sebagai seorang pengajar tidak tetap (yang tidak memiliki jadwal, tempat, waktu, dan juga gaji yang tetap), saya harus siap mengajar di lokasi manapun yang ditentukan oleh lembaga tempat saya mengajar. Ketika lembaga tempat saya mengajar menugaskan saya untuk mengajar di kota Serang, saya pun menyanggupinya. Lembaga kami yang bergerak di bidang pendidikan yang berbasis di Jakarta memang memiliki cabang di Serang, kota di sebelah barat kota Jakarta yang menempuh waktu 4 jam perjalanan dengan bus.

Saya yang biasanya mengajar di wilayah Jakarta, kali ini kebagian jatah mengajar di Serang. Selama satu semester, saya pun harus rela pulang pergi Jakarta – Serang satu kali dalam seminggu. Karena menempuh jarak yang jauh di luar kota, saya mendapat jatah uang transport setiap kali datang mengajar ke Serang.

Pada hari itu, kebetulan giliran saya mendapat jadwal mengajar di Serang. Tiga kelas masing-masing 1,5 jam pelajaran telah saya selesaikan. Dan, saatnya untuk pulang. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam saat saya melangkahkan kaki meninggalkan tempat saya mengajar. Sebelumnya, seperti biasa saya diberikan uang transport secara cash oleh penanggung jawab lokasi tempat saya mengajar.

Selembar uang 20 ribuan lama pun saya simpan di dompet saya. Saya tidak terlalu memperhatikan atau peduli apakah uang ini lama atau baru. Seharusnya uang lama pun masih bisa digunakan untuk pembayaran, begitu pikir saya.

Hari itu saya juga tidak membawa uang lebih di dompet saya karena saya sudah memperhitungkan ongkos saya secukupnya plus uang transport 20 ribu tersebut cukup untuk sampai ke rumah.

Saya mengeluarkan uang receh untuk membayar angkot sampai ke tempat pemberhentian bus jurusan ke Jakarta. Di sini saya harus menunggu bus jurusan Jakarta yang akan saya naiki. Tidak berapa lama menunggu, bus jurusan Jakarta (seingat saya namanya Sri Maju jurusan Merak-Jakarta lewat Serang) datang dan saya pun naik.

Bus sedang melaju dengan cepat di jalan tol Jakarta-Merak arah ke Jakarta, saat kondektur mulai berjalan menarik ongkos dari penumpang. Tibalah kondektur itu di hadapan saya sambil menagih ongkos bus. Selembar uang 20 ribu lama yang saya dapatkan dari tempat saya mengajar itu pun saya berikan karena memang hanya uang ini yang ada selain uang recehan lain yang ngga cukup untuk membayar ongkos bus.

Tapi, betapa terkejutnya saya, ketika kondektur itu menolak menerima uang 20 ribu tersebut. Dia beralasan uang tersebut sudah lama dan sudah tidak berlaku lagi sambil tetap menagih ongkos bus. Saya berusaha meyakinkan uang ini sah namun tampaknya sang kondektur tetap tidak mau menerima. Akhirnya, dia pun bilang nanti saya akan diturunkan di pemberhentian bus kalo tetap membayar dengan uang lama ini. saya ngga bisa berbuat apa-apa karena memang ngga punya uang lain yang cukup untuk membayar ongkos selain uang 20 ribu ini.

Benar juga, saya disuruh turun oleh kondektur saat bus tiba di tempat pemberhentian sekaligus pom bensin yang masih berada di jalan tol Jakarta-Merak. Saya pun turun dengan berat hati dan sambil menyesalkan dan menyalahkan diri sendiri kenapa tadi cuma membawa uang yang pas-pasan.

Saya pun mulai khawatir, berada di jalan tol di malam hari dengan uang lama yang ngga laku dan pas-pasan. Pikiran buruk pun datang, bagaimana kalo saya ngga bisa keluar dari jalan tol ini, bagaimana kalo ada orang jahat menyerang saya di tempat sepi ini, bagaimana kalo uang 20 ribu ini benar-benar ngga laku dan ngga bisa dipakai untuk pembayaran dan saya ngga bisa pulang.

Saya mulai mencari toko atau warung tempat saya bisa menukarkan atau membeli sesuatu dan mendapat kembalian berupa uang recehan. Saya lihat di tempat itu tidak terlalu sepi (untungnya, thanks God!), ada pom bensin dan beberapa warung makanan. Tapi, saya agak ragu apakah mereka mau menerima pembayaran dengan uang 20 ribu lama ini.

Saya pun masuk ke warung makanan dan membeli sebuah minuman botol seraya menyerahkan uang 20 ribuan tadi dan berharap mereka mau menerima uang ini dan memberi uang kembalian. Yeah, penjaga warung menerima uang itu tanpa banyak bicara (alhamdulillah, gue bisa pulang) namun masih harus menukar uang ini untuk kembalian. Perlahan hati saya mulai agak tenang.

Saya lihat bus yang tadi saya naiki sudah selesai mengisi bensin dan perlahan-lahan mulai bergerak jalan melanjutkan perjalanannya ke Jakarta. Saya tidak terlalu khawatir dan masih menunggu penjaga warung memberikan kembalian. Dalam hati, saya berharap masih ada bus lain yang singgah ke tempat ini sehingga saya bisa naik dan pergi dari tempat ini.

Setelah mendapat uang kembalian berupa uang recehan, saya beranjak dari warung tersebut sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada penjaga warung.

Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya bus yang ditunggu itu, yang akan membawa saya meninggalkan tempat ini, datang juga. Dan, saya pun naik bus itu dengan rasa syukur karena telah terlepas dari kesulitan ini sambil bertekad tidak akan membawa uang pas-pasan lagi saat bepergian jauh.

No body care about her

Seperti biasa, malam itu saya sedang duduk dengan nyaman di dalam sebuah bus ukuran ¾ jurusan Depok Timur. Kali ini saya cukup beruntung karena mendapat bus yang masih baru dan lumayan bagus dan nyaman dengan ruang antartempat duduk yang lega, biasanya bus-bus jurusan depok timur-kp rambutan diisi oleh jajaran bus tua berbentuk kotak sabun yang kurang layak ditumpangi.

Saya naik bus ini di daerah Pasar Rebo di saat bus masih kosong belum terisi banyak orang. Bus ini biasanya akan ngetem di halte dekat fly over Pasar Rebo ke arah Cijantung dan baru akan jalan setelah bus terisi penuh penumpang.

Saya sengaja memilih tempat duduk di deretan kanan baris ketiga di pojok dekat jendela dan duduk dengan nyaman di sana. Karena masih kosong, saya punya banyak pilihan dan kebetulan posisi ini adalah favorit saya, di pojok dekat jendela. Posisi ini favorit karena saya bisa “bebas dari gangguan” yang sewaktu-waktu bisa saja datang (Saya berharap tidak ada ibu-ibu membawa anak, nenek-nenek, atau wanita hamil yang akan naik).

“Depok Timur, Cisalak, Simpangan” terdengar teriakan calo di halte.

Satu per satu penumpang naik mengisi tempat duduk yang masih kosong. Seorang bapak-bapak duduk di sebelah saya, dan langsung menutup jendela yang sebelumnya memang sengaja saya buka lebar-lebar. Jendela ini memang sengaja saya buka lebar biar udara segar di luar yang habis tersiram hujan bisa masuk, AC alam gitu loh. Dalam hati saya bergumam, “ngga sopan nih orang ngga boleh orang senang ya.” Tapi, saya diam aja sambil berpikir positif, mungkin saja orang ini sedang kurang enak badan.

“Depok Timur, kosong kosong langsung berangkat yang mau cepat,” terdengar lagi teriakan sang calo tanpa melihat bahwa bus sudah terisi penuh tanpa ada bangku kosong.

Bus pun melaju setelah terisi penuh penumpang. Saya pun menyandarkan kepala dengan nyaman dan mencoba memejamkan mata. Mumpung busnya nyaman, saya mencoba menikmati perjalanan ini dengan sejenak memejamkan mata melepas lelah.

Mata saya sedang setengah terpejam saat secara samar-samar saya melihat seorang ibu sambil menggendong anak naik ke atas bus yang sedang saya tumpangi. Wah, akhirnya kekhawatiran gue terjadi juga. Apakah saya akan meninggalkan kenyamanan ini dan memberikan tempat duduk saya kepada ibu yang baru naik ini? dalam hati saya bimbang.

Meskipun ibu ini terlihat cukup kuat dan tabah, saya merasa kasihan juga. Saya mencoba membela diri, saya juga membawa tas yang cukup berat, jadi saya berhak dengan tempat duduk ini. saya menunggu reaksi penumpang lain, siapa tahu ada yang berbaik hati memberikan tempat duduknya yang nyaman kepada ibu yang sedang menggendong anak ini. tapi, saya hanya bisa berharap.

Saya melihat penumpang yang duduk, kebanyakan mereka duduk dengan mata terpejam (atau sengaja memejamkan mata walaupun sebenarnya ngga ngantuk).

Saya benar-benar ngga tega. Akhirnya, saya pun berdiri sambil mencolek pundak ibu itu seraya memberikan tempat duduk yang sebelumnya saya duduki tanpa melihat ke belakang. Tapi, tanpa diduga dari belakang saya datang ibu yang lain langsung menyerobot duduk di tempat yang akan saya berikan kepada ibu yang menggendong anak tadi.

Saya benar-benar ngga menduga kejadian ini. ibu yang menggendong anak pun terlihat terkejut tapi ngga bisa berbuat apa-apa. Ibu itu tetap berdiri dengan tegar sambil menggendong anaknya yang mulai terlelap pulas. Sejenak saya bingung, ngga bisa berpikir. Saya juga melihat penumpang lain, sama sekali ngga ada perhatian. Seolah-olah ngga terjadi apa-apa.

Entah apa yang ada di kepala ibu yang menyerobot duduk ataupun ibu yang menggendong anak. Ibu yang menggendong anak tampaknya sebel tapi ngga bisa berbuat apa-apa. Ibu yang menyerobot duduk tenang-tenang saja di tempat duduknya tanpa merasa bersalah.

Penumpang yang lain pun tampak ngga peduli, tetap di bangkunya yang nyaman. Aneh, apa mereka ngga malu dengan dirinya sendiri membiarkan seorang ibu berdiri dengan menggendong anak? Apa mereka ngga berpikir, bagaimana kalo yang berdiri itu istrinya sendiri, ibunya yang sewaktu muda menggendong dirinya saat masih kecil, atau dirinya sendiri menggendong anaknya?

No body care about her …

Saya masih bingung dengan keadaan ini. udah tujuan saya memberi tempat duduk kepada ibu itu ngga tercapai, sekarang saya pun harus susah payah berdiri dengan memikul tas ransel saya yang lumayan berat.

Cukup lama saya berada dalam kebingungan dengan pikiran yang agak kacau, sampai akhirnya saya memberanikan diri berbicara kepada ibu yang menyerobot itu yang masih duduk dengan tenang.

“Maaf bu, tadi maksud saya mau memberikan tempat duduk ini untuk ibu itu,” ujar saya dengan hati-hati sambil menunjuk kepada ibu yang berdiri menggendong anak.

“oh begitu,” jawab ibu yang duduk itu seraya berdiri dan mulai menyadari maksud saya tadi. Saya pun kembali menawarkan tempat duduk ini yang sudah kosong kepada ibu yang menggendong anak tadi.

“maaf, Mas. Ngga apa-apa saya berdiri aja,” ujarnya dengan tegas cenderung ketus tanpa menengok dengan nada datar yang dicoba untuk tegar dan sabar yang terasa bagai cubitan pada kulit saya.

Tampaknya memang terlambat buat saya untuk membuatnya menerima kebaikan hati saya. Tampaknya dia sudah menetapkan, saya bisa kok berdiri tanpa perlu bantuan tempat duduk dari anda. Hatinya sudah bulat untuk tetap berdiri dan tegar tanpa perlu bantuan dari kami yang sombong ini. sikap tegasnya ini saya pikir bukan ditujukan kepada saya semata melainkan untuk sikap cuek dan ngga peduli semua penumpang bus ini dan terlebih kepada ibu yang telah menyerobot tempat duduk tadi.

Perasaan saya ngga menentu, ada rasa iba, jengkel, kesel, dan perasaan bersalah bercampur menjadi satu.

Saya mencoba memahami keadaan ini. penumpang bus yang nyaman dengan tempat duduknya tanpa peduli dengan orang lain sampai-sampai membiarkan seorang ibu yang menggendong anak berdiri dengan susah payah. Seorang ibu yang lain yang tanpa merasa bersalah menyerobot tempat duduk yang bukan untuknya. Seorang ibu yang mencoba tegar dan tidak bergantung kepada kebaikan orang lain. Saya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa.

Sebuah pelajaran berharga yang saya dapat malam itu.

03 December 2008

2 x 5 = ?

Wah, mentang-mentang gue editor matematika, gue mau main tebak-tebakan matematika, gitu? Jangan sewot dulu bo, ini sama sekali ngga ada hubungannya dengan matematika dan hitung-hitungan. Gue tau kok lo pada paling jijay sama matematika .. he he he he

kalo secara matematika, anak sd (yang udah belajar perkalian, kelas berapa ya ..) juga tau jawabannya. Tapi, sekali lagi, ini bukan pertanyaan matematika.

sebenarnya ini tentang pengalaman gue pulang dan pergi menggunakan fasilitas bus kantor, semacam bus jemputan gitu lah. semenjak kantor gue pindah dari Pondok Gede (di pinggiran kota Jakarta) ke kawasan industri MM 2100 Cibitung (yang ini bukan di pinggir lagi malahan udah jauuuhhh dari Jakarta .. hehehe), gue dan kawan-kawan lain harus naik bus jemputan untuk berangkat dan pulang kantor.

Mestinya sih keadaan ini sangat menguntungkan buat gue dan kawan-kawan yang lain karena bisa mempermudah pergi dan pulang kantor sekaligus menghemat ongkos (bus jemputan ini gratis lo ... tapi selama enam bulan pertama aja). Bus jemputan ini berangkat dari pasar rebo sekitar jam 7 pagi. dari pasar rebo ke cibitung yang terletak di timur Jakarta melewati Bekasi dapat ditempuh selama 40 menit (kalo lancar) lewat tol cikunir trus belok ke tol cikampek . jadi, kurang dari jam 8 pagi kami sudah sampai di kantor.

Awalnya gue sangat senang dengan fasilitas gratis ini, tapi belakangan ini gue dan sebagian penumpang lain (khususnya yang cewek) merasa agak risih.

Bayangkan setiap pagi (berangkat) dan sore (pulang), gue harus mendengar celotehan (yang menurut gue dan sebagian yang lain sangat berisik) dari sebagian kawan-kawan sesama penumpang bus. Yang bikin risih itu bukan berisik dan celotehannya tapi konten dari celotehannya itu yang agak nyerempet esek-esek alias parno. gue maklum sih emang kita butuh refreshing setelah dihadapkan dengan tugas-tugas kantor yang bikin pusing kadang.

gue juga ngga masalah bahkan senang banget kalo diajak becanda. it's ok. tapi becandanya yang wajar-wajar aja lah ngga usah berlebihan.

Dan, keadaan ini harus gue hadapi dua kali sehari dalam seminggu (atau lima hari kerja). lama kelamaan agak muak juga sih dengerin celotehannya.

jadi, udah ngeh khan makna 2 x 5 itu ...

Unforgetable Moment

Betapa indahnya Gunung Bromo ...

Ada perasaan yang berbeda saat saya melihat gambar Gunung Bromo atau melihat tayangan tentang Gunung Bromo di TV. Ada perasaan bangga, haru, sedih, gembira, dan sejuta nuansa lainnya. Nostalgia masa lalu tiba-tiba saja hadir dan mengemuka di hadapan saya. Tidak terasa sudah sepuluh tahun berlalu dari saat terakhir kali saya menginjakkan kaki di sana.

Maka, saat saya mencoba mencari gambar yang pas buat theme atau header blog ini saya langsung teringat dengan satu tempat, Gunung Bromo. Sebenarnya ada satu tempat lagi yang sangat eksotis yang pernah saya kunjungi dan ngga akan pernah saya lupakan, yaitu madakaripura. tapi, saya merasa Bromo lebih pas buat theme blog ini.

pada postingan saya terdahulu saya pernah menceritakan pengalaman saya pertama kali pergi ke Gunung Bromo. Pengalaman unik dan tak terlupakan.

Setelah itu, saya sempat tiga kali pergi ke Bromo dengan suasana dan keadaan yang berbeda.

Kesempatan kedua pergi ke Bromo adalah saat saya masih kuliah tingkat dua (semester tiga). Kebetulan saya kuliah di kota Malang yang memang sangat dekat dengan Bromo. Waktu itu saya bersama lima teman saya, Dicky, Suryo, Tomo, Yaser, Eko, dan akh Hasan. Akh Hasan itu bisa dibilang mentor kami berlima. sementara kami berlima seusia, Akh Hasan lebih tua empat tahun dari kami. Beliau juga yang memimpin dan memandu perjalanan kami.

Jalur yang kami lalui adalah melalui Tumpang dan terus naik ke arah Semeru dan belok ke arah Bromo. saat itu sebenarnya kami tidak berencana ke Bromo. Rencananya kami ingin ke arah Semeru sejauh yang kami mampu. namun, di tengah perjalanan kami memutuskan berbelok ke Bromo, yaitu di suatu tempat bernama Ranu Pani. Tempat ini berupa danau yang berada persis di kaki Gunung Semeru.

Kami tiba di Ranu Pani saat senja dan memutuskan menginap di daerah ini semalam untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya. Mengingat jalur ke Semeru sangat berat dan masih sangat jauh, kami mengurungkan niat melanjutkan perjalanan ke Semeru dan memutuskan berbelok ke arah Bromo.

dari arah Ranu Pani ke Bromo kami harus melewati lautan pasir (segara wedi). dan kami sampai ke Bromo saat sore. saat perjalanan dari Ranu Pani ke arah Bromo ini, saya hampir jatuh ke jurang yang curam. Kami memang harus melewati jalan yang terjal dan dengan jurang yang menganga di kanan kiri jalan. tantangan berat buat kami berenam.

ketiga kalinya saya pergi ke Bromo adalah waktu saya sedang melaksanakan KKN alias kuliah kerja nyata. saya melaksanakan kkn di kota Lumajang, kota di sebelah timur kota Malang yang dipisahkan oleh Gunung Semeru.

Kesempatan keempat saya ke Bromo adalah bersama sahabat saya Supri dan binaannya. perjalanan ini dalam rangka tafakur alam.

Adakah kompromi di antara dua pilihan?

Setiap orang pasti memiliki cita-cita, obsesi, atau keinginan. Dan, ketika keinginan itu hampir dapat diraih, tentu kita akan merasa senang. Tetapi, ketika keinginan yang sudah lama diimpikan dan hampir bisa diraih itu datang, kita menjadi ragu untuk mengambilnya karena ada batasan-batasan yang tidak mungkin dilewati begitu saja. Haruskah kita tetap mengikuti kata hati kita untuk meraih segala keinginan yang sudah di depan mata tanpa menghiraukan segala risiko dan mengabaikan batasan-batasan yang ada? Beranikah Anda menggapai keinginan Anda itu dengan mengorbankan sesuatu yang sudah ada?

Saya punya pengalaman yang mungkin mendekati sebagaimana kondisi di atas. Pengalaman ini terjadi beberapa waktu yang lalu, sudah agak lama juga sih.

salah satu impian saya adalah bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. tidak dapat dibayangkan kegembiraan hati saya ketika pada suatu hari saya mendapat telepon yang menawarkan kepada saya beasiswa untuk studi tingkat magister. Saya langsung teringat bahwa beberapa bulan sebelumnya saya pernah apply untuk posisi research assistant dengan paket scholarship di sebuah perguruan tinggi swasta di jakarta. Tawaran ini tentu saja sangat menggiurkan karena memang sesuatu yang sangat saya impikan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Dengan penuh antusias saya bersedia mengikuti proses yang harus dijalani untuk dapat diterima di posisi yang ditawarkan itu. pertama, saya harus membuat suatu presentasi dengan tema case research. Presentasi ini dilakukan di hadapan suatu panitia/juri yang terdiri dari tiga orang. Dengan penuh semangat saya mempersiapkan bahan presentasi itu yang bahan-bahannya saya dapat di buku teks dan internet.

Pada hari yang ditentukan saya pun datang memenuhi panggilan untuk melakukan presentasi. Saya harus menampilkan presentasi saya di hadapan petinggi kampus itu yang mereka minimal bergelar S2, salah satunya adalah dekan dari fakultas dimana saya melamar. Presentasi pun berlangsung lancar sampai akhirnya tibalah waktu untuk tanya jawab. Di sinilah saya baru mengetahui hal yang sebenarnya tentang posisi yang saya lamar dan scholarship yang ditawarkan. Dalam kesempatan tanya jawab inilah dekan itu menanyakan kesiapan saya untuk melamar di posisi yang ditawarkan, yaitu research assistant.

Ternyata mereka menawarkan posisi ini dengan kompensasi berupa beasiswa (scholarship) untuk studi magister. Mereka menanyakan kesiapan saya karena mereka ingin memastikan saya siap bekerja dengan gaji berupa beasiswa tersebut. Jadi, mereka mengalihkan gaji dan membayarkannya dalam bentuk beasiswa. Mereka menegaskan bahwa sebenarnya mereka bukan menawarkan beasiswa kepada saya tetapi mereka menawarkan job atau pekerjaan dimana pendapatan dari job itu bukan berupa uang melainkan berupa beasiswa.

Dan, job yang ditawarkan kepada saya pun full time dan bukan part time. Artinya, saya harus bekerja 6 hari dalam seminggu dan ditambah juga harus mengikuti perkuliahan di malam harinya. Bukan pekerjaan yang ringan bahkan sangat berat ternyata. Mengetahui bahwa saya sudah berkeluarga dan memiliki tanggung jawab untuk memberi nafkah, membuat mereka benar-benar ingin tahu kesiapan saya atas kondisi ini.

Saya yang awalnya sangat antusias dengan proses ini, menjadi agak bimbang. Kondisi yang ditawarkan itu memang menggiurkan tapi sangat berat bagi saya yang sudah memiliki keluarga. Dengan kondisi kerja seperti di atas, 6 hari kerja ditambah kuliah malam, tanpa gaji sepeser pun (karena sudah dialihkan menjadi beasiswa) tentu saja sangat sulit buat saya. Praktis saya tidak bisa mendapatkan gaji/pendapatan apapun bahkan walaupun disambi dengan freelance tetap saja ngga bisa nutup nafkah buat keluarga.

Walaupun istri saya bekerja, saya ngga mungkin membebankan nafkah keluarga kepada istri saya. Sebagai kepala keluarga sayalah yang bertanggung jawab memberi nafkah untuk keluarga. Ini ngga mungkin bisa saya jalankan dalam kondisi yang ditawarkan itu. Di satu sisi saya sangat menginginkan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dan itu sudah ada di depan mata, tetapi di sisi lain saya juga memiliki keluarga yang harus saya beri nafkah.

Akhirnya dengan berat hati saya mengurungkan keinginan saya untuk mendapat beasiswa. Pihak universitas pun tidak ingin memaksa saya dan memahami kondisi saya yang sulit dan dilematis. Saya pun harus mengubur kembali cita-cita yang hampir bisa saya raih yang sudah ada di depan mata saya. Sedih, kecewa, dan berat rasanya. Saya hanya bisa berharap suatu saat nanti kesempatan itu akan datang lagi.

Dan, saat ini sepertinya kesempatan yang hampir sama kembali hadir di depan mata saya. Akankah saya mengorbankan cita-cita saya? Mungkinkah ada solusi yang bisa membuat saya dapat meraih cita-cita dan keinginan tanpa mengorbankan apa yang sudah ada?