31 July 2008

Who wants to be an editor?

Saat membaca koran, mata saya tertumbuk pada satu iklan lowongan pekerjaan.

Dibutuhkan oleh suatu perusahaan penerbitan, seorang editor dengan kualifikasi sebagai berikut:

- S1/S2 dari perguruan tinggi negeri
- minimal memiliki IP 3,00
- sanggup bekerja dalam tekanan
- latar belakang pendidikan MIPA, agama, dan ilmu sosial
- memiliki minat dalam bidang pendidikan

Demikianlah kira-kira bunyi iklan lowongan pekerjaan tersebut. Demi melihat lowongan pekerjaan itu, gue yang saat itu memang sedang mencari kerja, langsung melotot dan tertarik dengan lowongan tersebut.

Kualifikasi tersebut memang cocok banget dengan minat dan pengalaman kerja yang gue miliki. Gue yang lulusan PTN dengan latar belakang MIPA memang agak sulit untuk mencari pekerjaan yang sesuai. Saat itu gue masih berstatus sebagai pengajar honorer di sebuah bimbingan belajar. Jadi, saat gue melihat lowongan pekerjaan ini, gue langsung berminat. Surat lamaran dan cv segera gue buat dan gue kirim melalui email.

Dari kualifikasi yang diminta dalam iklan lowongan pekerjaan tersebut, gue mengira posisi yang ditawarkan tentu menjanjikan karir dan pendapatan yang memadai bagi seorang sarjana seperti gue. Karir dan penghasilan yang cukup memang sangat gue butuhkan berhubung saat itu gue baru aja dikaruniai seorang anak dari pernikahan gue dengan seorang wanita minang. Gue sangat berharap bisa meningkatkan taraf hidup gue setelah gue bisa bekerja di perusahaan penerbitan ini.

Dari iklan lowongan tersebut, gue pikir orang yang akan bekerja sebagai editor tentulah orang yang pintar dan memiliki posisi penting dalam perusahaan itu. Wajar saja, kalau gue berharap mendapatkan karir sekaligus penghasilan yang bisa menjamin masa depan gue dan keluarga gue.

Tidak beberapa lama, panggilan untuk tes dan wawancara pun datang sebagai tanggapan atas lamaran yang gue kirimkan. Tentu saja gue sangat gembira menyambutnya. Dalam hati, udah terbayang gue akan mendapatkan pekerjaan yang gue idam-idamkan.

Dan, dengan semangat 45 gue mendatangi kantor perusahaan penerbitan itu. Gue harus menjalani serangkaian tes dan wawancara. Dari tes yang gue jalani, gue masih yakin bahwa pekerjaan editor yang gue lamar ini adalah pekerjaan idaman gue.

Namun, semua bayangan indah tentang pekerjaan sebagai seorang editor menjadi buyar saat tiba gilirannya gue wawancara dengan kepala HRD di perusahaan tersebut. Bayangan gue yang berharap mendapat gaji yang memadai buyar seketika saat sang kepala HRD itu menawarkan jumlah rupiah yang amat tidak memadai dan tidak sesuai dengan tuntutan kualifikasi dalam iklan lowongan pekerjaan di atas. Saat gue kurang tanggap dengan tawaran gaji yang ditawarkan, dengan entengnya sang kepala HRD berkata, “kalau ngga sesuai ya ngga apa-apa, banyak kok orang lain yang mau.” Ini tentu saja sangat dilematis buat gue yang emang butuh banget pekerjaan itu. Dengan berat hati gue terima pekerjaan itu sambil masih bergumam dalam hati seolah ngga percaya dan terbayang lagi beratnya menyongsong masa depan dengan pendapatan pas-pasan seperti ini.

Dan, saat gue sudah berada di dalam perusahaan penerbitan itu, gue ngga sendiri. Di sana gue bertemu dengan editor-editor dengan latar belakang pendidikan yang sangat baik tetapi harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak mendapat penghasilan yang sesuai dengan yang seharusnya. Ngga ada dari mereka yang sungguh-sungguh berhasrat besar untuk menjadi editor melainkan hanya menjalani nasib saja. Editor yang dituntut untuk berpendidikan tinggi, pintar dan cerdas, memiliki prestasi bagus, ide yang cemerlang, dan kreativitas tinggi, serta mental yang kuat karena harus biasa bekerja under pressure, tetapi dihargai dengan sangat murah dan disamakan dengan pekerja yang bekerja dengan ototnya saja. Editor yang bekerja dengan otak dan hatinya tetapi harus berada di bawah kekuasaan orang-orang yang ngga punya otak dan hati. Sungguh ironis, bukan.

Begitulah kira-kira awalnya gue terjerumus ke dalam lembah hitam ini … eh salah, maksudnya awal gue akhirnya menjalani pekerjaan sebagai editor. Pekerjaan yang masih gue jalani sampai saat ini.

Buat gue ini adalah pilihan hidup. Dalam hidup dimana tidak banyak pilihan yang dapat diambil, maka memilih satu pilihan lebih baik daripada tidak punya pilihan sama sekali.

Buat anda yang memiliki pengalaman dan nasib seperti gue, jangan berkecil hati, ya. Paling ngga kita masih memiliki otak dan hati. Itu adalah modal besar yang bisa berguna pada saatnya nanti. Jangan patah semangat.

You can get more money with your brain

Ya, ungkapan ini sangat cocok dialamatkan buat gue. Gue yang berprofesi sebagai editor di sebuah perusahaan penerbitan. Gue yang masih ngga punya bayangan yang jelas bagaimana masa depan gue terutama istri dan anak-anak gue. Memang, gue masih ngga bisa ngebayangin bagaimana nanti anak-anak gue bisa mendapatkan pendidikan yang layak sementara biaya untuk pendidikan semakin mahal ngga masuk akal.

Sebagai seorang editor, kita dituntut untuk memiliki kecerdasan dan kreativitas yang tinggi. Ini tentu saja memerlukan kerja otak yang tidak ringan. Syarat untuk menjadi editor pun tidak main-main, dia harus sarjana lulusan perguruan tinggi negeri bahkan ada juga yang magister (S2), mempunyai indeks prestasi minimal 3,00, dan dapat berpikir cepat dalam tekanan. Ini tentu saja hanya dimiliki oleh bukan sembarang orang.

Dengan kriteria seperti itu, tentu orang akan mengira bahwa pendapatan seorang editor pastilah sangat lumayan. Wajar kan orang yang spesial digaji dengan spesial juga. Tapi, orang akan sangat terkejut saat mengetahui bahwa pendapatan seorang editor tidak se-spesial sebagaimana tugas dan fungsi editor itu. Bahkan bisa dibilang seorang editor yang bekerja dengan “otaknya” itu memiliki pendapatan yang sama atau bisa jadi lebih kecil dari pendapatan seorang pekerja yang menggunakan “ototnya” (maaf, bukan berarti saya merendahkan mereka yang bekerja dengan ototnya, tetapi ini hanya sebagai perbandingan saja). Ironis, ya.

Tengok saja, seorang editor yang harus menyelesaikan sebuah naskah untuk dijadikan buku. Naskah itu hanya terdiri dari 30 halaman. Tentu saja ini tidak layak untuk dijadikan sebuah buku (tapi anehnya diterima oleh sang penanggung jawab, chief editor). Kondisi ini memang sangat sering terjadi di dunia penerbitan. Dan, editorlah yang menjadi kreator sekaligus finishing toucher dari naskah yang ngga layak itu. Dia harus menjadikan buku itu menjadi layak. Ini dilakukan dengan menambah halaman buku menjadi 64 halaman (jumlah ini dianggap ekonomis dalam penerbitan) dengan menambah materi dan gambar. Kalo dipikir ini sih sama aja editor yang nulis buku itu, ya kan.

Sebenarnya sebutan editor itu tidak cocok buatnya karena pekerjaan yang harus dilakukan tidak cuma mengedit saja tetapi juga harus merombak, menambahkan, bahkan terkadang harus menulis ulang naskah tersebut agar menjadi buku yang layak dibaca dan laku dijual. Dan, ini ngga pernah dipedulikan oleh sang chief, yang dia tahu buku itu harus selesai dengan baik dan laku dijual. Coba bayangkan, naskah dari penulis tadi (yang ngga layak) sudah disulap sedemikian rupa oleh editor dan laku terjual, tetapi apa yang didapatkan oleh editor? Uang lembur yang hanya cukup buat beli pulsa yang mungkin jauh lebih rendah dari uang lembur setter (yang secara intelektual lebih rendah dari editor, cuma perbandingan aja ya). Sementara, penulis buku itu yang notabene cuma membuat setengah dari buku itu mendapatkan semuanya: nama sebagai penulis (ini sangat mahal nilainya karena bisa menjadi faktor promosi dalam pekerjaannya), uang lelah menulis (yang jumlahnya lumayan lah), royalti (pendapatan pasif yang didapat setiap tahun), dan popularitas (kalo bukunya laku tentu saja penulisnya juga terkenal dong).

Gimana? Layakkah jika seorang editor yang dituntut memiliki kecerdasan dan kreativitas tinggi ternyata mendapatkan pendapatan yang minim yang ngga sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya? Apakah layak seorang editor yang bekerja dalam tataran ide dan kreativitas digaji berdasarkan jam kerja? Di perusahaan penerbitan biasanya berlaku sistem lembur dimana perhitungan lembur itu berdasarkan waktu pekerja itu melakukan pekerjaannya. Lho, editor yang bekerja berdasarkan pikirannya kok dibayar berdasarkan waktu kerja, ngga matching dong.

Tapi, dalam dunia bisnis yang segala sesuatunya diukur dengan pertimbangan untung dan rugi, hal ini sangat wajar. Bisa dikatakan editor adalah korban (tumbal) dari sistem yang kapitalistik. Dalam sistem kapitalistik ini siapa yang bisa menyumbang keuntungan lebih banyak buat perusahaan, dialah yang mendapatkan bagian paling besar. Sialnya, editor sebagai pemain di belakang layar emang paling ngga keliatan perannya dalam bisnis ini. Mereka hanya tau penulisnya lah yang hebat dan pintar, padahal??? Atau, kalau buku itu bisa laku terjual, mereka melihat ini adalah peran pihak marketing. Editor ngga pernah masuk hitungan, kecuali saat terjadi kesalahan, barulah semua orang serentak menunjuk jari telunjuknya kepada editor. Sungguh ironis.

Tapi, itulah kenyataannya. Lagian, siapa suruh jadi editor? Daripada istri dan anak-anak gue kelaparan, ya gue jalanin aja pekerjaan ini sambil bermimpi mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan masa depan yang lebih baik.

Buat rekan-rekan sesama editor, this is tribute to you for your full of dedication and respect in your work.

Peace, ya!

28 July 2008

Memaknai Isra Miraj

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil haram ke Masjidil aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

(QS Al-Isra atau surat Bani Israil (17): 1)

Tahukah kamu bahwa saat ini kita telah berada di bulan Rajab dalam kalender Hijriah? Ada apa dengan bulan Rajab? Masih ingatkah kita kepada saudara-saudara muslim kita di Palestina? Apa hubungannya bulan Rajab dengan Palestina dan Al-Quds?

Ayat di atas banyak diperdengarkan di saat-saat ini di bulan Rajab ini, baik di masjid-masjid maupun di pengajian-pengajian. Ayat ini memang bercerita tentang suatu kejadian penting yang terjadi di bulan Rajab, suatu keajaiban dan mukjizat yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad saw.

Ya, peristiwa itu adalah Isra dan Miraj yang dialami oleh Baginda Nabi. Dalam ayat di atas Allah yang Maha Kuasa telah menunjukkan kebesaran dan mukjizatnya dengan memperjalankan Nabi Muhammad saw dari Masjidil Haram di kota Mekah (sekarang termasuk dalam negara Arab Saudi) ke Masjidil Aqsa di Palestina. Dua tempat ini berjarak ratusan kilometer dan memakan waktu berhari-hari untuk mencapainya dalam satu perjalanan yang dilakukan saat itu, zaman di mana kuda dan onta adalah satu-satunya kendaraan yang tersedia. Dan, Nabi Muhammad saw hanya memerlukan waktu beberapa detik saja untuk melakukannya tentunya atas izin dan kekuasaan Allah swt.

Saya tidak ingin membahas bagaimana kekuasaan Allah itu dapat terjadi atau bagaimana bentuk buraq, binatang yang ditunggangi Nabi Muhammad dalam perjalanan itu. Saya lebih tertarik untuk membahas bagaimana nasib bangsa Palestina yang saat ini masih terlunta-lunta. Padahal dalam ayat di atas disebutkan dengan jelas bahwa

“… yang telah Kami berkahi sekelilingnya …”

Semestinya Palestina adalah negeri yang penuh berkah di mana di sana berdiri dengan kokoh Masjidil Aqsa sebagai kiblat pertama umat Islam (udah pada tau khan?). Tapi, apa yang terjadi saat ini? Palestina hanyalah sebuah negeri yang penuh dengan noda darah, air mata, dan perpecahan, yang selalu disebut-sebut sebagai sarang teroris oleh barat (AS dan sekutunya).

Saya pikir bulan Rajab ini dan lebih khusus lagi peringatan Isra Miraj yang sebentar lagi akan kita jalani (tanggal 27 Rajab bertepatan dengan tanggal 30 Juli 2008), adalah momen yang sangat tepat untuk mengingat kembali bahwa masih ada tugas kita sebagai seorang Muslim untuk ikut merasakan dan membantu penderitaan dan perjuangan yang dialami oleh saudara-saudara di Palestina. Siapa lagi yang dapat membantu perjuangan Palestina kalau bukan kita sebagai saudara sesama muslim. Siapapun mereka, apabila mereka mengucapkan syahadat maka mereka adalah saudara kita.

Sebagai bentuk solidaritas dan kesetiakawanan kepada sesama muslim di Palestina, mari kita bergabung bersama dalam acara

KONSER KEMANUSIAAN UNTUK KEMERDEKAAN RAKYAT PELESTINA

Yang akan diselenggarakan pada

Ahad, 6 Agustus 2008 di Tennis Indoor Senayan

Acara ini dibagi menjadi tiga sesi
- sesi I (09.00 – 12.00 WIB)
- sesi II (13.00 – 16.00 WIB)
- sesi III (18.30 – 21.30 WIB)

Acara ini dimeriahkan oleh tokoh-tokoh dan cendikiawan Muslim dan Palestina di antaranya.

Hidayat Nur Wahid (ketua MPR), Adhyaksa Dault (Menteri Pemuda dan Olahraga), Arifin Ilham (pemimpin majelis zikir), Izzatul Islam, Ar-Ruhul Jadid, dan lain-lain.

Wah, kayaknya bakalan rame dan seru nih …

So, buat sobat-sobat yang ngaku Islam dan cinta perdamaian dan kemerdekaan, ini adalah wadah yang tepat untuk menunjukkannya. Mari kita hadir bersama-sama, dan jangan lupa ngajak nyak-babe dan teman-temannya, kakak dan konco-konconya, adik, saudara, tetangga, temannya tetangga, kerabat, dan semuanya deh biar rame … he3x …

Don’t miss it!

Apa definisi sebenarnya dari alkohol?

Kita telah mengenal istilah alkohol secara kimia sejak lama, yaitu saat belajar kimia di sekolah menengah. Lama sebelum itu, kita juga sudah sering mendengar istilah alkohol secara agama, sejak pertama kali diperkenalkan agama dan syariatnya oleh orang tua kita. Saya mencoba menemukan titik temu istilah alkohol secara agama dan secara kimia. Karena sampai saat ini saya melihat masih ada kerancuan pengertian alkohol secara kimia dan secara agama.

Menurut pengertian agama (dalam hal ini Islam), sejauh yang saya ketahui (mohon dikoreksi jika ada yang salah atau kurang), alkohol dikaitkan dan identik dengan minuman atau zat yang memabukkan jika diminum secara berlebihan. Selain itu, dalam cara pandang ini, alkohol didefinisikan sebagai zat yang sangat berbahaya jika sampai masuk ke dalam tubuh manusia. Oleh karena itu, alkohol diharamkan oleh agama dan digolongkan sebagai najis yang bisa membatalkan kesucian seseorang jika menyentuhnya. Substansi keharaman alkohol pun mutlak yang tidak bergantung dari kadar (jumlah/kuantitas) alkohol itu, tetapi seberapa pun alkohol tersebut dikonsumsi (sedikit atau banyak, memabukkan atau tidak) semua jatuh ke dalam hal yang diharamkan.

Di pihak lain, secara kimia pengertian alkohol berkaitan dengan suatu gugus fungsi tertentu (kalo boleh saya tulis: R-OH). Di mana semua zat yang memiliki gugus fungsi ini termasuk ke dalam golongan alkohol (masih ingat ngga pelajaran kimia SMA?). Jadi, menurut kimia alkohol adalah sekelompok zat yang memiliki gugus fungsi yang spesifik. Apakah alkohol ini yang termasuk diharamkan oleh agama?

Di sinilah letak permasalahannya. Coba bayangkan, berapa banyak zat yang dapat memiliki gugus fungsi ini, apakah semua zat ini masuk dalam kategori yang diharamkan? Selain itu, sejauh yang pernah saya baca, sangat mudah suatu senyawa diubah menjadi zat dengan gugus fungsi alkohol ini, apakah ini juga dapat jatuh menjadi sesuatu yang haram? Juga, banyak jenis senyawa lain yang dibuat dengan perantaraan alkohol ini atau salah satu zat antara sebelum menjadi produk akhir berupa zat dengan gugus fungsi alkohol, bagaimana hukumnya?

Lebih lanjut, apakah yang diharamkan oleh agama menunjuk pada satu golongan zat alkohol atau hanya sebagian dari alkohol yang memang sudah terbukti merupakan zat berbahaya dan mempunyai efek memabukkan (misalnya lebih spesifik metanol CH3OH atau etanol C2H5OH)? Mengapa dalam agama alkohol yang sedikit pun (yang tidak sampai memabukkan) juga diharamkan?

Saat ini, zat yang dapat digolongkan ke dalam alkohol banyak digunakan sebagai bahan dalam pembuatan berbagai jenis minuman, obat-obatan, dan pengharum (parfum). Coba aja perhatikan bungkus atau kotak parfum atau obat dan lihat di bagian bahan pembuat (ingredients), banyak tertera bahan kimia yang berakhiran –ol (etanol atau butanol, dll) yang merupakan alkohol. Apakah bahan-bahan ini termasuk yang digolongkan sebagai haram menurut agama?

Kita sangat membutuhkan bahan-bahan tersebut baik obat-obatan maupun parfum, yang ternyata mengandung alkohol, dan sudah menjadi bagian dari kehidupan kita.

Bagaimana kita mendefinisikan alkohol?

25 July 2008

What happen in Africa?

Apa pendapat anda tentang Afrika dan orang-orangnya?

sebelum menjawab, coba perhatikan gambar-gambar berikut ini








Bagaimana pendapat anda?

24 July 2008

You can't go far ...

Sebenarnya banyak yang pengen gue tuliskan di sini. Tapi, gue sangat terhambat dengan koneksi internet yang antara hidup dan mati atau hidup segan mati tak mau. Sebentar nyambung, tiba-tiba putus, begitu berulang-ulang. Gue emang memanfaatkan (nebeng) internet di kantor. Minggu ini ngga ada kerjaan yang perlu gue selesaikan, jadi sebenarnya banyak kesempatan dan waktu untuk menuliskan banyak hal. Tapi, itu semua ngga bisa gue lakukan.

Satu hal lagi, udah beberapa hari ini gue susah akses ke blog atau blogger. Gue coba masukblog gue dan alamat blog yang lain ngga bisa kebuka. Kayaknya, semua situs blog diblokir oleh sang admin. Di sini emang ada admin jaringan yang memantau lalu lintas jaringan dan punya kewenangan memblokir situs yang dianggap ngga perlu dan ngga penting (tapi kalo situs porno ngga pernah diblokir deh kayaknya! aneh khan). Menurut gue ngga penting banget dan kayak ngga ada kerjaan aja ngeblokir blog. Apa salahnya kita ngeblog dengan fasilitas kantor, emang ngga ada kerjaan kok. Kalo pas lagi ada kerjaan sih kita cepet-capet nyelesein kerjaan kita. Jadi, sama sekali ngga mengganggu kerjaan kita, what's wrong?

Walhasil gue jadi agak susah buat posting tulisan gue ke blog. Gue juga jadi males mau nulis, kehilangan selera. Udah koneksi internet hidup mati, akses ke blogger diblokir pula. Gue udah kayak tentara yang kehilangan senapannya, ngga bisa berbuat apa-apa.

Untung aja, ada temen gue yang meminjamkan buku komiknya. Buku komiknya berjudul Ninja Rantaro, yang merupakan versi komik dari film kartun berjudul Ninja Boy. Gue cukup terhibur dengan buku komik ini yang menurut gue lumayan lucu. Buat gue yang pernah menonton film Ninja Boy, sudah sangat familiar dengan karakter tokoh dalam komik ini. Dan, gue ngga bisa nahan diri untuk ketawa sendiri di meja gue saat baca buku ini. Lumayanlah ada hiburan.

21 July 2008

Hotspot in the school

Sekarang, di sekolah udah ada hotspot. Itulah kata-kata istri gue yang bagaikan angin surga yang berhembus di telinga gue. Pernyataan ini memang berarti banyak buat gue. Ini berarti gue bisa menjajal kehandalan perangkat wireless yang udah terpasang di laptop gue tapi belum pernah gue pake. Ini bisa juga berarti gue bisa bebas berkelana di dunia maya dengan gratis. Ini bisa juga berarti gue bisa menjajal koneksi internet via koneksi wireless yang kata orang bisa lebih cepat dibandingkan dial-up yang selama ini gue gunakan.

Istri gue emang berprofesi sebagai guru di sekolah dasar islam swasta yang lumayan elit. Ternyata di sekolahnya baru aja dipasang hotspot. Gue ngga tau seberapa pentingnya hotspot itu buat sekolah itu. Dan gue ngga peduli. Buat gue yang tempat tinggalnya cuma 10 langkah dari sekolah itu, ini merupakan sesuatu yang sangat berguna. Gue dan istri gue bisa memanfaatkan hotspot itu untuk selancar di internet. sekaligus jagain dua anak gue, Izzaty dan Firdaus, bermain-main di sekitar sekolah yang emang banyak terdapat wahana permainan. Ini artinya sambil menyelam minum air.

Rencananya, gue mau menjajal hotspot di sekolah itu pada hari ahad kemarin. Tapi, mendadak gue mendapat panggilan tugas (kayak tentara aja!) dari kantor. Gue harus lembur untuk menyelesaikan kerjaan di kantor yang udah deadline. Gue harus bersabar dan mengurungkan niat gue yang udah menggebu-gebu untuk mencoba hotspot. Gue berharap akhir pekan yang akan datang bisa menuntaskan rasa penasaran gue ini untuk segera menjajal hotspot secara gratis.

20 July 2008

Who need windows Vista?

Hari jum'at malam yang lalu saya mendapat tawaran yang menggiurkan sekaligus membingungkan. Adik ipar saya yang bekerja di perusahaan konsultan IT menawarkan kepada saya apakah mau menginstal windows vista di komputer saya. Mendengar kabar itu, saya bagaikan mendapatkan durian (monthonk) runtuh, senang banget. Seolah-olah tuhan mendengar doa saya dan mengabulkannya.

Semenjak di-launching setahun yang lalu (pertengahan tahun 2007), saya emang pengen banget nyobain sekaligus ngubek-ngubek makhluk yang bernama windows vista itu. Saya pengen membuktikan keampuhan dan kesaktian windows vista, seperti yang digembar-gemborkan banyak pihak. Dan, kesempatan itu ada di hadapanku sekarang.

Sebagai persiapan untuk menginstal windows vista, gue buka-buka lagi majalah chip yang pernah gue beli yang membahas tentang cara instalasi vista. Dari tulisan itu, gue menangkap (kayak ikan aja ditangkap!) ada dua cara menginstal vista.

Pertama, meng-upgrade vista dari windows XP (atau windows versi sebelumnya). Di sini kita seolah-olah menimpa XP yang udah terinstal di komputer kita sebelumnya dengan windows vista. Cara ini kelihatannya menarik dan lebih gampang dilakukan karena kita tinggal melakukan upgrade dan XP langsung berganti dengan vista. Namun, cara ini berisiko karena bisa jadi tidak semua program dan hardware yang ada sudah kompatibel dengan vista yang baru terinstal. Misalnya, driver-driver dari hardware yang terinstal belum tentu cocok dengan vista. Karena saat kita menginstal driver kita menggunakan driver dalam platform XP bukan vista. Jadi, cara upgrade dari XP langsung ke vista perlu diperhitungkan masak-masak.

Kedua, melakukan instalasi baru. Di sini kita melakukan instalasi vista di ruang harddisk yang berbeda dengan ruang untuk windows yang sudah ada sebelumnya. Kita bisa membuat komputer kita memiliki dua sistem operasi (OS), yaitu windows XP yang sudah kita instal sebelumnya dan windows vista yang akan kita instal. Kita bisa menempatkan tiap-tiap OS di partisi harddisk yang berbeda.

Perlu diketahui bahwa harddisk yang kita punya bisa dipartisi (atau dibagi) menjadi beberapa bagian, yang paling umum adalah dua bagian yang biasanya dinamakan volume C dan D. Windows XP biasanya terletak di C dan D biasanya untuk menyimpan berbagai data. Ketika kita ingin menginstal sistem operasi baru misalnya windows vista, kita bisa meletakkannya di D.

Cara kedua ini yang pengen gue lakukan. Lagi pula cara kedua ini menurut gue lebih aman. Karena banyak kasus di mana windows vista mengalami berbagai masalah. Dengan menggunakan dua OS kita bisa berpindah dari XP ke Vista atau sebaliknya jika di satu OS (misalnya vista) mengalami masalah. Selama ini kita sudah terbiasa menggunakan windows XP dan sayang untuk ditinggalkan. Di lain pihak, tidak ada salahnya mencoba sistem operasi yang baru seperti windows vista yang digembar-gemborkan sebagai sistem operasi yang handal. Ini yang membuat gue penasaran untuk mencobanya. Dengan menggunakan dual OS kita bisa berganti-ganti OS, XP dan vista.

Tapi tampaknya gue akan menemui ganjalan untuk menginstal vista di komputer gue. Informasi yang gue dapet di majalah chip, untuk menginstal vista diperlukan minimal kapasitas sebesar 20 GB (bahkan sumber lain mengatakan minimal 40 GB) ruang di harddisk. Ini masalahnya, karena gue lihat kapasitas volume D di komputer gue cuma 18 GB dan total kapasitas harddisk komputer gue cuma 40 GB. Gue ngga yakin bisa dan apakah menginstal vista perlu dilakukan.

Bisakah gue menginstal vista dengan kapasitas harddisk terbatas seperti ini? Apakah gue perlu menginstal vista di komputer gue?

Who need windows vista?

14 July 2008

Unforgetable Weekend

Akhir pekan memang saat yang ditunggu-tunggu bagi mereka yang sehari-hari dipenuhi oleh urusan pekerjaan. Demikian juga dengan gue yang benar-benar memanfaatkan akhir pekan yang lalu untuk melupakan segala urusan pekerjaan di kantor. Namun, buat gue akhir pekan tidak berarti gue bisa bersantai di rumah. Masih banyak tugas yang harus gue kerjain. Buat gue sih akhir pekan adalah saat di mana kita bisa switch dari pekerjaan rutin ke pekerjaan sampingan. Jadi, sebenarnya gue tetap “bekerja” juga sih.

Namun, tampaknya gue harus bersabar di akhir pekan yang lalu. Pasalnya, gue harus bisa menerima kenyataan bahwa di depan rumah gue sedang ada hajatan di hari sabtu yang lalu. Dan masalah besarnya adalah gue harus bersiap pasang telinga karena pas banget di depan jendela kamar tidur gue udah terpasang speaker berukuran sangat besar. Tentunya ini berkaitan dengan hajatan tetangga gue itu. Dan dugaan gue ngga meleset, sejak sabtu pagi musik pengiring hajatan udah meraung-raung berkumandang ke seantero lingkungan tempat tinggal gue. Dan gue yang kamarnya pas berada di depan moncong speaker itu menjadi korban terbesar dari keadaan ini. Sebelumnya gue udah membayangkan sabtu-minggu ini bisa menyelesaikan pekerjaan gue dengan tenang. Tapi apa yang terjadi? Gue malah harus menjadi pendengar nomor satu dari segala yang keluar dari speaker raksasa tersebut.

Tapi gue ngga kehilangan akal. Dengan penuh harap gue meminta adik ipar gue,yang punya hp nokia N70 yang bisa dipake buat dengerin musik, untuk tukeran hp. Gue berharap bisa make hp-nya buat dengerin musik pake earphone. Untungnya adik ipar gue itu mengerti kesulitan gue ini dan dengan rela bersedia tukeran hp. Walhasil gue bisa mengerjakan pekerjaan gue dengan earphone menempel di telinga. Lumayan paling ngga gue ngga harus dengerin musik dangdut yang memekakkan telinga dari speaker raksasa di depan jendela kamar gue. Namun, gue harus membayar mahal kelakuan gue ini. Sampe sekarang telinga gue jadi agak nyeri. Mungkin karena terlalu dipaksain dengerin musik melalui earphone yang gue jarang melakukannya.

Acara hajatannya sendiri ngga terlalu buruk akibatnya buat gue dan keluarga. Malahan sangat menguntungkan banget. Anak-anak gue yang emang doyan banget makan, jadi ngga kehabisan bahan makanan untuk dimakan. Bolak-balik mereka mengenyam es krim dan siomay yang dengan suka rela diberikan oleh tuan rumah yang punya acara. Kebetulan ibu mertua ikut membantu membuat masakan dalam acara hajatan itu. Hari itu gue bebas dari rengekan dua anak gue itu yang biasanya kerap meminta jajan ke indomaret. Selain itu, tuan rumah juga secara suka rela mengirimkan makanannya ke rumah gue. Walhasil hari itu gue ngga perlu masak buat makan siang dan makan malam. Meja makan dan kulkas gue yang biasanya kosong tanpa makanan, hari itu penuh sesak dengan berbagai macm makanan, mulai dari kue sampe lauk pauk. Inilah hikmahnya kalo kita berkeluarga, ada aja rezeki yang datang ke tempat kita. (makanya, buat yang belon nikah, segeralah menikah! Apa hubungannya?)

Tapi ada satu hal yang ngga mengenakkan buat gue. Saat gue membuka kulkas, mata gue tertumbuk pada satu bungkusan styroform. Biasanya makanan yang spesial selalu diletakkan di tempat yang eksklusif itu. Dengan berbunga-bunga gue buka styroform itu. Dan alangkah terkejutnya gue, ternyata isinya adalah jengkol. Gue emang paling sensitif dengan makanan yang satu ini. Tapi sialnya keluarga gue sangat doyan dengan makanan ini. Mendadak sontak gue kehilangan selera makan demi melihat keadaan ini.

Ternyata memang ada menu spesial yang disiapin oleh tuan rumah yang punya hajat yang disediakan buat tamunya. Ya, jengkol itu. Tapi itu buat acara hari jumat yang lalu. Dan karena masih tersisa, tuan rumah mengirimkannya ke rumah gue dengan suka rela. Dan diterima dengan suka rela juga oleh keluarga gue. Padahal mereka tahu kalo gue paling ngga suka jengkol.

Gue emang mendingan ketemu tuyul atau babi ngepet deh daripada harus ketemu makanan yang bernama jengkol. Bisa jadi kalo gue punya penyakit jantung, gue bisa terkena serangan jantung kali kalo ngeliat jengkol. Dan yang lebih menjengkelkan adalah kamar mandi rumah gue yang mengeluarkan bau yang naudzubillah ketika keluarga gue abis makan jengkol.

Sampe siang ini gue masih kehilangan selera makan gue. Pagi tadi rencananya sih gue pengen makan sahur buat puasa senin kamis. Tapi gue takut ngga bisa makan akibat selera makan gue yang hilang itu. Makan siang gue hari ini aja ngga begitu bersemangat akibat peristiwa tersebut.

Dan ada lagi yang lucu yang gue dapat di akhir pekan yang lalu. Istri gue dapat undangan resepsi pernikahan dari salah satu tetangga gue yang lain. Di undangan itu tertulis resepsi pernikahan dilaksanakan tanggal 13 Juli 2008 yang berarti hari minggu kemarin di rumah mempelai wanita. Tapi lucunya acara akad nikahnya baru akan dilaksanakan hari Jumat yang akan datang tanggal 18 Juli 2008. Selama ini baru kali ini gue ngeliat acara resepsi lebih dulu dari akad nikah. Emang boleh ya kayak gitu. Padahal kan acara yang utamanya justru akad nikahnya. Gue yang kuper atau bener-bener aneh ya? Ngga tau deh, emang gue pikirin.

Lesson from the Holy Qur'an

Sebagaimana biasa setiap minggu malam sesudah salat Magrib gue menyempatkan diri bertilawah Al-Qur’an. Demikian pula minggu malam kemarin, gue manfaatkan kesempatan ini untuk sedikit menenangkan hati dan berzikir kepada Allah. Selama gue bekerja memang gue jadi lebih jarang melakukan hal ini. Beda dengan ketika gue masih kuliah dulu yang ngga pernah ketinggalan membaca Al-Qur’an setiap pagi dan petang.

Kalo gue pikir-pikir kebangetan juga ya kalo kita sampe ngga sempet baca Qur’an. Selama 24 jam x 7 hari waktu yang kita punya selama seminggu, masa kita sampe ngga punya waktu untuk baca Qur’an. Sungguh terlalu! Makanya gue usahain banget dalam seminggu itu paling ngga hari sabtu dan minggu untuk baca Qur’an.

Gue jadi inget dalam satu pengajian dikatakan bahwa rasulullah Muhammad saw salat malam sampe bengkak kakinya, saking lamanya dia berdiri ketika salat. Bayangin tiap malem beliau selalu menunaikan salat malam dan menghabiskan sepertiga malam untuk melakukan hal itu. Bandingin dengan kita yang pada saat yang sama dengan sangat khusyunya tidur (kita emang bisa khusyu kalo tidur doang kali ye!) dan terbuai dalam mimpi. Beda banget!

Saat gue baca Qur’an itu, gue sampe ke ayat yang terjemahannya berikut ini.

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal (berperang) itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Dan Allah-lah yang mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.
(QS Al-Baqarah: 216)

Setelah selesai baca Qur’an, gue baca lagi terjemahan ayat di atas. Gue pikir-pikir bener juga ya, terkadang kita mengalami keadaan di mana kita malas melakukan sesuatu padahal kita benci atau berat untuk melakukannya. Dan ini banyak gue alami dalam kehidupan sehari-hari. Seolah-olah gue diingatkan melalui ayat ini.

Gue kadang merasakan seolah-olah realitas tidak sejalan dengan keinginan dan cita-cita kita. Gue terkadang melupakan realitas yang ada di hadapan kita, dan terus bermimpi akan sesuatu yang jauh dari jangkauan kita. Terkadang kita membenci realitas yang terjadi. Dalam keadaan ini ada baiknya kita ingat:

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.

Dalam keadaan yang lain, kita terkadang terlena oleh sesuatu yang seolah-olah baik tanpa pernah merenungkannya kembali. Kita hanyut dalam kesenangan yang semu. Di sini ada baiknya kita ingat:

Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu.

Sesuatu yang baik menurut pandangan kita, bisa jadi tidak bermakna di mata Allah. Jadi, ayat ini seolah-olah mengarahkan kita untuk menjadikan pandangan baik dan buruk berdasarkan pandangan Allah bukan semata-mata datang dari nafsu dan perasaan kita.

Dan Allah-lah yang mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.

Dalam setiap keadaan, baik senang maupun susah, ada baiknya kita selalu mengingat ayat ini. Ayat ini dapat dimaknai secara luas dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

10 July 2008

Using HP as modem for internet connection

Semalam aku mimpi, mimpi buruk sekali (ngaco lu mau nulis apa nyanyi dangdut he .. he..). Semalam akhirnya gue bisa mewujudkan keinginan gue yang udah lama terpendam: internetan di laptop via hp di kamar tidur gue. Ternyata gampang-gampang susah juga mewujudkan keinginan gue tersebut. Diperlukan kesabaran dan ketekunan dalam melakukannya.

Gue udah lama mengidam-idamkan hal ini: bisa internetan di mana aja tanpa harus diganggu oleh koneksi kabel. Dan, salah satu caranya adalah memanfaatkan hp yang kita punya untuk kita jadikan sebagai modem. Keuntungan dari hal ini adalah kita bisa terhubung ke internet di mana aja kita berada. Saat kita main ke taman dan bawa laptop kita bisa akses internet. Jadi, kita bisa mobile dan tidak tergantung dari koneksi kabel yang biasanya tertentu di satu tempat saja.

Akhirnya, gue bisa mewujudkan hal itu semalam. Akses internet menggunakan hp sebagai modem. Ada yang tertarik mau mencoba? Berikut ini cara-caranya.

Pertama, kita harus menyiapkan pirantinya. Kalo gue, gue menggunakan laptop dan hp SE K700i dengan koneksi menggunakan bluetooth. Kebetulan komputer gue belum dilengkapi bluetooth jadi gue pake usb bluetooth adapter (itu loh usb yg berfungsi sebagai bluetooth, bisa dibeli di toko komputer dg harga 50-an ribu). Selain itu, bisa juga menggunakan kabel data. Jadi, komputer dan hp dihubungkan dengan kabel data.

Hp yang akan kita gunakan sebagai modem minimal telah dilengkapi dengan GPRS. Kebetulan hp gue sudah dilengkapi dengan GPRS jadi bisa gue pake. Jadi, pastikan hp yang akan kita gunakan sudah dilengkapi dengan GPRS. Untuk koneksi yang lebih cepat kita bisa juga memanfaatkan hp yang dilengkapi dengan 3G.

Ada prosedur dan setting yang perlu dilakukan sebelum bisa menggunakan hp sebagai modem dan mengakses internet. Baik setting yang dilakukan di komputer maupun di hp kita. Menurut gue, disinilah letak tantangannya yang memerlukan kesabaran dan ketekunan.

Pertama, setting di hp. Kebetulan gue menggunakan kartu IM3. Mengapa? karena kabarnya IM3 dapat disetting untuk menjalankan internet secara time-based. Jadi, hitungan tarifnya berdasarkan waktu terhubung ke internet. Tarifnya adalah Rp100/menit. Menurut gue ini paling irit dan hemat. Makanya gue pake konfigurasi ini.

Sebelumnya, pastikan bahwa kita sudah melakukan aktivasi GPRS untuk Hp kita. Untuk IM3 cara aktivasinya cukup mudah, yaitu via sms dengan mengetikkan GPRS nama dan hp kita kemudian kirim ke 3000. Contohnya, gue menggunakan sony ericsson K700i, maka gue ketik GPRS se k700i kirim ke 3000.

setelah menerima konfirmasi bahwa hp kita sudah di aktivasi baru kita melakukan setting GPRS di hp. Untuk melakukan setting ini, kita masuk ke Connectivity > internet setting > internet profiles > indosatgprs. Kemudian masuk ke settings di mana kita harus memasukkan user dan password. kita masukkan

user : indosat@durasi
password : indosat@durasi

Untuk kartu sim yang lain tentu saja berbeda, Tergantung masing-masing operator. Ingat setting ini hanya untuk IM3 berbasis time-based.

Setelah setting di hp sudah dilakukan. Hal kedua yang harus dilakukan adalah melakukan setting di komputer kita. Untuk itu kita harus menghubungkan komputer dan hp kita menggunakan koneksi yang ada. Koneksi yang gue pake adalah via bluetooth karena gue ngga punya kabel data untuk hp gue (se k700i). Colokin USB adapter ke usb komputer. Langkah-langkahnya cukup ribet tapi menarik untuk dicoba.

1. Masuk ke dalam bluetooth device melalui control panel. kemudian pada tab device klik add dan biarkan computer mendetect handphone kita. Saat handphone kita sudah terdetect maka akan muncul di layar berupa nama handphone kita. Kita pilih kemudian klik ok. Di sini kita perlu memasukkan passkey, yaitu berupa angka 8 -16 digit baik di hape maupun di komputer dan klik next. Setelah selesai klik finish. Maka kita telah dapat mengkoneksikan komputer dan hp melalui bluetooth dan siap menggunakannya sebagai modem.

2. selanjutnya, masuk ke phone and modem options melalui control panel. Kita pilih tab modem sehingga muncul semua modem yang terinstal di komputer dan klik add untuk menambahkan handphone kita sebagai modem. Kemudian akan muncul kotak instal new modem, klik next, maka computer akan mendetect handphone kita. Setelah muncul nama handphone kita di kotak pilih dan klik ok. Di sini kita telah menginstal modem baru dan akan terdeteksi oleh komputer sebagai standard modem over bluetooth link. Kita bisa melihatnya di phone and modem options di mana kita telah menambahkan modem baru.

3. Selanjutnya, masuk ke network connections melalui control panel. Di sini akan ditunjukkan semua koneksi jaringan yang telah terinstal di komputer kita. Karena kita akan membuat koneksi baru melalui modem handphone maka kita perlu membuat koneksi baru. Kita klik create a new connection di kolom sebelah kiri kotak. Maka akan muncul kotak welcome to the new connection wizard, klik next. Pada network connection type kita pilih connect to internet dan klik next. Kemudian akan muncul kotak cara apa yang akan digunakan untuk koneksi internet. Di sini kita pilih set up my connection manually dan klik next. Kemudian pada kotak internet connection pilih connect using dial-up modem dan klik next. Kemudian kita isi nama ISP yang digunakan, kita isi m3net dan klik next. Selanjutnya masukkan nomer telepon, isikan dengan *99***X# dan klik next. Kemudian isikan "gprs" pada username dan "im3" pada password dan klik next. Setelah selesai klik finish. Maka kita telah membuat koneksi baru bernama m3net. Ini akan muncul pada network connection di bawah dial-up. Untuk mengeceknya masuk ke network connection melalui control panel.

4. kita tinggal melakukan satu hal kecil lagi (he … he … he … sabar ya!), yaitu memasukkan suatu kode. Masuk ke device manager melalui control panel > system > tab hardware > device manager. Klik dua kali pada modems > sony ericsson k700i modem properties. Klik tab advanced dan masukkan kode berikut ini

At+cgdcont=1,”IP”,”www.indosat-m3.net”

Karena kita menggunakan kartu IM3. dan klik ok.

5. Pada tahap ini kita sudah siap untuk koneksi internet melalui handphone kita. Kita bisa langsung melakukan koneksi melalui connect to > m3net > dial. Maka akan kita dapati bahwa komputer telah melakukan koneksi yang ditandai dengan keterangan di sebelah kanan bawah layar windows. Buka browser dan (abrakadabra!) kita bisa browsing ke alamat situs yang kita inginkan.

Selamat datang di dunia maya!

Selamat mencoba.

Brief History of Time

Gue pernah menyatakan di tulisan gue sebelumnya yang berjudul Relativitas Waktu bahwa memori yang pernah tersimpan dalam ingatan kita ngga pernah terhapus secara permanen. Hari ini gue membuktikan pernyataan gue tersebut.

Dulu, gue seneng baca dan punya buku karangan Stephen Hawking yang berjudul sama dengan judul tulisan ini. Buku ini berisi sedikit biografi Stephen Hawking dan pergulatannya dalam mengembangkan teori relativitasnya Einstein. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Riwayat Sang Kala. Waktu pertama kali gue membaca buku ini gue sangat terkesan dan kebetulan sesuai dengan minat gue dalam bidang fisika. Jadilah buku itu sebagai buku favorit gue.

Dengan berjalannya waktu dan semakin banyak pengalaman dan aktivitas yang gue lakukan, gue jadi melupakan semua tentang buku itu, Brief History of Time, dan juga penulisnya, Stephen Hawking. Gue lupa bahwa gue pernah sangat terobsesi dengan isi buku itu yang berusaha mengungkap fakta tentang penciptaan alam semesta.

Pagi ini, gue kembali mengingat memori itu, memori tentang buku Brief History of Time. Pemicunya adalah pikiran gue yang berusaha mencari judul postingan yang pengen gue tulis tentang peristiwa kemacetan yang gue alami pagi ini. Saat gue sedang berpikir itulah sekonyong-konyong gue inget lagi tentang Stephen Hawking dan Brief History of Time-nya. (tring, seperti ada lampu yang nyala, kayak di film kartun aja!).

Gue jadi pengen baca lagi buku itu tapi gue ngga yakin karena gue ngga tau lagi keberadaan buku itu. Lagi pula apa masih ada yang jual ya! (Sekalian nih buat temen2 yang tau tempat di mana gue bisa mendapatkan buku itu, mohon diinformasikan kepada gue.)

Jadi, kalo lo pernah punya memori di masa lalu, jangan kaget kalo tiba-tiba memori itu kembali memenuhi pikiran lo. Boleh juga nih gue sebut relativitas waktu part 2?

05 July 2008

Relativitas Waktu

Jangan khawatir ini bukan pelajaran fisika walaupun sebenarnya gue emang senang fisika dan punya kompetensi untuk menulis tentang fisika (sok yakin lo). Jadi, ente ngga akan menemui rumus fisika di sini. Sebagai gantinya anda bisa belajar banyak tentang kehidupan sekaligus tentang fisika juga. Kok bisa ya ...

Gue sebenernya bukan orang yang percaya bahwa waktu itu bisa diputar ulang. Atau, waktu itu bisa dibalik sehingga kita bisa kembali ke masa lalu. Hanya orang penganut faham relativitas-nya Einstein sajalah yang percaya dengan hal itu. Tentu saja dilengkapi dengan rumusan matematis yang rumit en njlimet yang dapat mendukung teori tersebut.

Tapi, gue merasa gue seperti kembali ke masa lalu. Masa di mana gue senang menikmati kerasnya musik metal dari grup rock macam GNR, Metalica, dan sejenisnya. Masa di mana gue senang menonton film di bioskop. Masa di mana gue kerap menikmati kecantikan wanita (keliatan deh belang lo sekarang!).

Selama gue kuliah (seperti yang pernah gue tulis dalam Transformasi Lorentz) gue sempat menghapus semua memori tentang musik, nyanyian, dan film dari dalam hati dan otak gue. Tetapi, ternyata (gue baru sadar) memori itu ngga akan pernah terhapus secara permanen. Bisa jadi dia tertutup oleh memori lain tapi tetap ada dalam hati kita. Satu pemicu cukup untuk membuka kembali memori-memori tersebut.

Itulah yang gue alami saat ini. Saat di mana gue seolah-olah sedang kembali ke masa lalu. Gue merasa saat ini gue berada di masa lalu saat gue senang melakukan banyak hal. Lagu-lagu yang pernah gue denger dan gue sukai di masa lalu kini hadir kembali di hadapan gue. Orang-orang yang pernah ada di masa lalu kini seolah-olah hadir lagi di hadapan gue. Impian-impian yang pernah memenuhi khayalan gue, seolah olah hadir lagi saat ini. Gue jadi menikmati lagi saat itu. Ya, seolah-olah gue hidup di masa lalu.

Lalu ke mana ingatan gue saat kuliah? saat idealisme memuncak dan cita-cita ditetapkan. Apa karena gue belum berhasil mencapai cita-cita dan obsesi gue saat kuliah ya jadinya memori gue kembali ke masa lalu? Ah masa bodoh.

Relativitas waktu, percayakah anda pada realitas ini?

04 July 2008

Transformasi Lorentz

Gue ngga liqo lagi. Akhirnya, statemen ini keluar juga dari mulut gue. Dengan berat hati dan sejuta perasaan bersalah gue terpaksa mengeluarkan statemen ini. Sebenarnya ngga ada yang salah dengan liqo atau tarbiyah, tapi gue ngga bisa lagi bermuka dua. Di satu sisi mengaku sebagai kader tarbiyah tapi di sisi lain sama sekali tidak menunjukkan diri sebagai kader tarbiyah sejati. Gue emang (kelihatan) alim, ngga pernah ketinggalan salat lima waktu dan sering ke masjid, suka puasa senin kamis, punya istri berjilbab, dan seabrek citra lain yang memungkinkan gue untuk disebut ikhwan. Tapi semua itu ngga cukup untuk dijadikan alasan dan pengakuan bahwa diri gue pantes disebut ikhwan dan bahkan bisa jadi sekedar kamuflase di balik sisi gelap gue yang lain.

Gue yang sekarang ini memang lain dengan gue waktu masih kuliah dulu. Dulu, gue dikenal sebagai cowok yang selalu mengisi hari-hari siang malem dengan aktivitas dakwah dan tarbiyah. Gue yang ngga pernah memandang cewek (akhwat) yang bukan muhrimnya. Gue yang senang mengkaji ilmu al-quran dan menghafalkan al-quran. Gue yang cuma mengenal tiga tempat: kampus, perpustakaan, dan masjid. Cewek dan pacaran adalah dua kata yang bisa membuatnya muntah karena jijiknya. Gue hidup dengan segudang idealisme tanpa pernah melihat realitas yang ada. Saat itulah liqo dan tarbiyah adalah dua kata indah dan wajib dalam hidup gue.

Waktu itu juga segala yang berhubungan dengan musik, nyanyian, dan film gue singkirin dari kamus hidup gue. Karena bagi kami hal itu sia-sia dan maksiat. Sebagai gantinya kami menggelorakan semangat kami melalui nasyid. Itu loh nyanyian tanpa musik yang mengobarkan semangat jihad, atau nyanyian yang hanya diiringi oleh gendang (tapi bukan dangdut ya!). Kami benar-benar menjaga diri kami dari hal-hal yang nyerempet maksiat dan sia-sia.

Itu bisa aja dilakukan waktu gue masih kuliah. Saat di mana kita bisa melakukan apa saja yang kita mau tanpa ada yang bisa menggugat. Mahasiswa gitu loh, apa pun bisa gue lakukan. Persetan dengan dunia dan orang lain. Gue seolah berada di dunia lain, dunia antah berantah yang sangat jauh berbeda dengan dunia tempat kita hidup. Saat itu gue ngga pernah berpikir bahwa gue ngga akan selamanya di kampus dan satu saat akan terjun ke masyarakat. Gue ngga pernah berpikir bahwa gue harus membuka mata terhadap masyarakat sekitar.

Tapi, gue baru sadar saat gue lulus kuliah dan dihadapkan dengan realitas dan dunia nyata. Gue baru agak ngeh dan sadar bahwa selama ini gue bagaikan katak di dalam tempurung. Gue cuma mengenal idealisme sebagai realitas semu tanpa sadar akan realitas yang sesungguhnya.

Saat gue kuliah dulu kebetulan gue tergabung dalam komunitas yang mengusung idealisme yang sama. Kami sangat kuat memegang prinsip dan keyakinan. Maklum, anak kuliah yang sedang on fire. Kami membangun ikatan hati dan ukhuwah dan mematok target besar di masa datang.

Dalam suasana seperti itulah gue memutuskan untuk mencari pendamping hidup yang memiliki kesamaan visi dan pandangan. Waktu itu idealisme gue udah agak menurun karena gue sadar diperlukan sesuatu yang lebih besar dari sekedar idealisme, gue perlu mempertimbangkan masa depan buat keluarga gue.

Masih dalam suasana tarbiyah, gue memilih pendamping hidup gue. Padanya gue menggantungkan masa depan anak-anak gue. Saat inilah gue benar-benar dibenturkan pada dua hal yaitu menjaga prinsip dan keyakinan, dan memperoleh pekerjaan dan karir untuk masa depan keluarga gue. Gue dihadapkan pada kenyataan dimana gue harus memilih menikmati pekerjaan dimana gue harus berhadapan dengan segala risiko dan konsekuensi dari pekerjaan yang terkadang tidak sesuai dengan prinsip kita dan menjaga prinsip dan keyakinan kita dengan kuat.

Akhirnya, gue ngga bisa lagi menjaga prinsip gue dengan teguh dan terbawa pada arus dan kenyataan yang harus gue hadapi. Dan sialnya gue merasa sangat nyaman dengan kondisi ini. Di lain pihak gue jadi merasa asing dengan komunitas yang gue pernah menjadi bagian penting darinya. Gue udah jauh dari aliran dan arus komunitas itu sehingga dengan berat hati gue memutuskan ikatan dengannya.

Saat ini, semua hal yang dulunya tabu dan haram buat gue dengan santainya gue nikmati seolah-olah gue bukan orang yang pernah membenci hal itu. Apakah ini suatu kematangan hidup? ataukah gue yang emang ngga pernah sungguh-sungguh menjalankan kehidupan gue yang dulu itu?

Gue merasa telah mengalami transformasi, yaitu perubahan bentuk dan karakter. Meminjam istilah dalam fisika: transformasi lorentz.

Perlukah gue kembali ke kehidupan gue yang dulu?

To be continued ...

03 July 2008

Siapa Bilang Jadi Karyawan Nggak Bisa Kaya?

Tulisan ini terinspirasi oleh ungkapan salah satu (atau salah dua ya!) teman gue di kantor. "Iya dong, orang kaya," itulah kata-kata favoritnya saat menanggapi orang yang menanyakannya kenapa sarapan pake roti tawar.

Tulisan ini sebenarnya review atau sinopsis dari buku dengan judul yang sama karangan Safir Senduk. Tapi buku itu masih belum gue temuin lagi di rumah gue.

Selama ini beredar anggapan bahwa karyawan adalah status yang tidak memungkinkan orang menjadi kaya. Anggapan ini dilanjutkan dengan anggapan lain bahwa hanya dengan menjadi pengusaha sajalah orang bisa menjadi kaya. Berawal dari dua anggapan tadi, buku ini mencoba memberikan pandangan yang berbeda dan tegas bahwa seorang karyawan pun bisa menjadi kaya tanpa harus meninggalkan pekerjaan tetapnya dan beralih menjadi pengusaha.

Buku ini diawali dengan uraian yang mencoba mengubah cara pandang terhadap pendapatan yang selama ini diperoleh seorang karyawan, definisi tentang kekayaan yang tidak berhubungan dengan penghasilan tinggi, dan bagaimana seseorang dapat kaya berapapun penghasilan yang didapatnya. Untuk itu, penulis mengemukakan lima kiat praktis yang dapat dilakukan dalam mengelola gaji agar bisa kaya.

Pertama, dengan membeli dan memiliki sebanyak mungkin harta produktif. Harta produktif adalah harta yang dapat menghasilkan pendapatan yang dapat berupa deposito, reksadana, rumah dan lain-lain. Dengan memiliki harta produktif, ada kesempatan untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Kedua, mengatur pengeluaran, yaitu dengan melakukan pertimbangan dan menetapkan prioritas dalam memutuskan pengeluaran. Pengeluaran yang efektif memungkinkan kita mendapatkan tambahan modal untuk memperbanyak harta produktif.

Ketiga, berhati-hati dalam berutang.

Keempat, menyisihkan penghasilan untuk pos-pos pengeluaran di masa yang akan datang. Merencanakan dari jauh-jauh hari pengeluaran yang akan dilakukan di masa yang akan datang mempermudah mewujudkan keinginan tersebut tanpa harus mengorbankan harta produktif yang ada.

Kelima, memiliki proteksi seperti asuransi kesehatan, pendidikan anak, dan pensiun.

Dengan kelima kiat praktis ini, jika dilakukan dengan cermat dan disiplin, penulis yakin seorang karyawan tidak akan ragu lagi untuk meneriakkan “siapa bilang jadi karyawan nggak bisa kaya?”