27 May 2009

Islam dan Warga Negara

Sebagai warga negara kita tentu perlu menunjukkan bukti kewarganegaraan kita. Dan kita juga perlu menunjukkan identitas kita sebagai warga negara.

Ada seorang warga negara yang tidak punya KTP dan menganggap tidak perlu memiliki KTP. Baginya menunjukkan identitas sebagai muslim sudah cukup buatnya. Dia merasa cukup dengan identitasnya sebagai muslim dan tidak merasa perlu menunjukkan identitas sebagai warga negara.

Pada suatu hari, orang tersebut ditangkap polisi. Dia ditanyakan oleh polisi identitasnya berupa KTP. Tentu saja orang ini tidak bisa menunjukkan KTP-nya karena memang dia tidak punya. Namun demikian, dia tetap berusaha menunjukkan bahwa dia adalah seorang muslim. Polisi tidak bisa menerimanya dan tetap berusaha meyakinkan orang itu untuk tetap menunjukkan identitas warga negaranya. Orang itu juga tetap tidak mau menunjukkan identitas kewarganegaraannya sambil tetap keukeuh menunjukkan jati dirinya sebagai muslim.

Karena orang ini tidak mau menunjukkan kewarganegaraannya, polisi kemudian menyuruhnya untuk pindah saja ke negara Islam yang lain. Polisi beralasan karena orang itu tidak diakui sebagai warga negara ini dan tidak mau menunjukkan identitas kewarganegaraannya. Orang ini jadi bingung, mana mungkin saya pindah ke negara lain. Belum tentu dia diterima di negara lain itu walaupun dia pindah ke negara Islam dan dia mengaku sebagai muslim.

Ini cuma gambaran sederhana bagaimana seorang muslim tetap harus menunjukkan identitas kewarganegaraannya dengan berusaha mengikuti setiap prosedur dan proses administrasinya. Hal ini bukan berarti dia berhukum kepada negara itu dan telah menduakan ALLAH dalam rasa cintanya. Bagaimana pun setiap muslim yang berada di setiap wilayah administratif hukum suatu negara tetap perlu mengikuti prosedur hukum di negara tempat dia tinggal, tentu saja tanpa perlu menanggalkan identitasnya sebagai muslim.

Identitas sebagai seorang warga negara tidak bisa lepas dari diri seorang muslim. Di mana pun dia tinggal. Seorang muslim yang tinggal di Arab Saudi tentu memiliki identitas sebagai warga negara Arab saudi, selain identitasnya sebagai seorang muslim tentunya. Seorang muslim yang tinggal dan terlahir sebagai warga negara Jerman memiliki identitas sebagai warga negara Jerman tentunya, selain identitasnya sebagai seorang muslim.

Jadi, jika seorang muslim berusaha menunjukkan identitasnya sebagai seorang warga negara yang berada di suatu wilayah negara, tentu ini perlu dipahami sebagai usaha dia dalam kapasitas warga negara.

Dan, menurut ana upaya ini yang sedang dilakukan PKS, yaitu berusaha menunjukkan identitasnya sebagai muslim dan juga tetap menunjukkan identitas sebagai warga negara yang menetap di sebuah wilayah suatu negara.

25 May 2009

Aku pernah naik Hercules (bag. 2)

Senin pagi itu, waktu subuh belum lagi menjelang namun kesibukan dan kegaduhan sudah terjadi di rumah saya. Maklum, pagi itu bulek sekeluarga akan berpamitan dan pulang ke tempat tinggalnya di Pasuruan. Buat saya, ini sangat berat meninggalkan teman bermain yang selama seminggu terakhir dihabiskan bersama-sama. Saya masih ingin melanjutkan kebahagiaan dan kegembiraan ini. Namun, masing-masing kami harus kembali melanjutkan kegiatan rutin kami. Saya dan keluarga harus kembali bersekolah setelah masa liburan habis, demikian juga dengan bulek dan pak lek sekeluarga.

Sesuai dengan rencana, bulek dan keluarga akan menumpang pesawat Hercules ke Surabaya dan melanjutkan dengan bus ke Pasuruan. Karena bukan pesawat komersial, jadwal keberangkatan pesawat Hercules yang akan kami tumpangi sangat tidak umum, yaitu pukul 05.00 pagi di lanud Halim Perdanakusuma. Kami harus maklum dengan kondisi ini dan berusaha memenuhi jadwal yang telah ditetapkan. Mungkin karena gembiranya ingin pertama kalinya naik pesawat, kami tidak terlalu memikirkan jadwal penerbangan yang amat menyulitkan ini. Bahkan, semalaman pun kami tidak bisa tidur karena takut terlambat bangun dan kesiangan. Tidak bisa dibayangkan gembiranya dan deg degannya hati kami menunggu pagi datang menjelang.

Karena sudah sangat akrab dengan anak bulek yang tertua, saya memaksa untuk ikut mengantar bulek sampai di bandara Halim. Bapak, om, dan saya ikut mengantar bulek ke bandara Halim. Dengan mobil sewaan kami berangkat ke Halim di pagi buta itu saat subuh belum datang. Di perjalanan sayup-sayup kami mendengar kumandang azan subuh dari speaker masjid sepanjang perjalanan.

Pakaian yang saya kenakan saat itu biasa saja karena memang niatnya Cuma mau mengantar aja dan langsung pulang. Jadi, saya ngga mempersiapkan pakaian yang khusus sebagaimana kalo mau bepergian jauh. Dengan kemeja sederhana dan celana pendek, saya pikir cukup untuk sekedar mengantar ke bandara Halim saja.

Sebelum jam 5 kami sudah tiba di Halim, dan bertemu dengan teman om yang akan mengantarkan sampai ke pesawat. Karena hanya kalangan tertentu saja yang bisa memanfaatkan layanan ini, kontak person dengan orang yang menghubungkan kami dengan petugas sangat diperlukan. Setelah urusan administrasi selesai kami diperbolehkan menuju pesawat.

Saat inilah bapak diberi kabar bahwa masih ada sisa bangku kosong yang bisa ditempati jika memang masih ada penumpang lain yang mau ikut. Bapak yang saat itu kebetulan masih punya waktu luang melihat satu kesempatan. Kenapa ngga ikut aja sekalian ke rumah bulek di Pasuruan sekalian numpang pesawat Hercules ini yang masih kosong? Tanpa ragu-ragu bapak mengajak saya ikut naik ke pesawat. Saya hanya terbengong-bengong aja. Perasaan saya campur aduk antara senang, kaget, dan bingung. Mau pergi jauh tapi ngga bawa perlengkapan memadai. Hanya baju dan celana yang saya dan bapak pakai ini aja yang bisa dibawa.

Saya pun ikut naik ke pesawat dengan perasaan yang belum yakin benar. saat itu hari masih gelap. Akhirnya, kesampaian juga saya naik pesawat. Dan, dalam kondisi yang amat mengejutkan dan tidak terduga-duga.

Pesawat Hercules ini sangat jauh berbeda dengan pesawat komersial pada umumnya. Karena tidak dibuat untuk angkutan penumpang yang nyaman, tempat duduk penumpangnya dibuat memanjang seperti di dalam angkot. Dan, tempat duduknya hanya berupa kain parasut saja bukan berupa jok yang nyaman. Ngga masalah lah seperti ini yang penting bisa cepat sampai di tempat tujuan, begitulah mungkin yang ada di benak kami.

Saya sempat melihat beberapa penumpang lain seperti kami, sepertinya memang sudah jamak banyak penumpang “titipan” seperti kami pada penerbangan nonkemersial semacam ini. Saya sendiri saat itu merasa sangat beruntung bisa menumpang pesawat terbang secara tidak resmi dan tanpa disengaja pula. Benar-benar sebuah kebetulan yang amat tidak terduga.

Rasa gembira dan kaget yang saat itu memenuhi perasaan saya tiba-tiba saja perlahan berubah menjadi kecemasan dan rasa dingin yang amat menusuk tatkala pesawat mulai bergerak dan mulai lepas landas. Saya baru sadar bahwa saya akan melayang di ketinggian ribuan meter di atas tanah, padahal saya hanya mengenakan pakaian seadanya dan celana pendek. Dalam sekejap rasa dingin menyelimuti tubuh saya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Coba bayangkan, berada di atas ketinggian ribuan meter tanpa jaket. Sekujur tubuh saya terasa beku dan mulai menggigil kedinginan. Saya hanya berharap semoga perjalanan ini cepat dilalui.

Saat lepas landas dan mendarat barang-barang bawaan kami ikut bergeser ke bawah dan ke atas. Karena tidak tersedia bagasi, kami menaruh saja barang bawaan kami di bawah tempat duduk. Sehingga akan mudah bergerak ke sana ke mari mengikuti arah gerak pesawat.

Walaupun hanya satu jam perjalanan menempuh jarak Jakarta Surabaya, saya merasa ini adalah perjalanan yang amat lama. Bibir saya masih terasa kaku, tangan dan kaki saya masih terasa membeku, dan tulang saya masih terasa ngilu saat pesawat tiba di bandara Juanda Surabaya.

Saya bersyukur akhirnya saya bisa sampai dengan selamat di tempat tujuan dan saya bisa lepas dari rasa dingin yang sangat menusuk ini. meskipun demikian, saya tetap senang dengan perjalanan ini, pengalaman pertama kali naik pesawat secara tidak sengaja.

saya hanya bisa tersenyum-senyum saja saat mengenang pengalaman ini.

Aku pernah naik Hercules (bag. 1)

Andai saja tidak terjadi peristiwa jatuhnya pesawat Hercules belum lama ini, saya mungkin sudah melupakan pengalaman saya ini. Walaupun bisa dibilang agak unik, sebenarnya saya sudah hampir melupakan pengalaman saya ini. Pengalaman naik pesawat Hercules memang jarang terjadi, apalagi saya yang bukan dari keluarga besar tentara. Kejadian jatuhnya pesawat Hercules telah membawa kenangan lama itu hadir kembali, kenangan bahwa saya secara tidak sengaja pernah naik pesawat Hercules.

Sore itu, seperti biasa saya sedang bermain bola bersama beberapa teman sebaya saya di halaman depan rumah salah satu tetangga saya. Sebagaimana anak-anak lain, saya yang saat itu masih duduk di kelas 5 SD juga sangat gemar bermain bola. Dengan bola dan lapangan seadanya kami mengisi sore yang cerah itu dengan bermain bola.

Lalu seorang pemuda tetangga saya datang bersama seorang bapak bersama keluarganya. Tampaknya bapak ini datang dari jauh dan sedang berusaha mencari alamat familinya, dan kebetulan bertemu dengan pemuda tetangga saya ini di jalan. Saya sendiri tidak mengenal bapak ini dan keluarga yang bersamanya. Jadi, alangkah terkejutnya saya saat pemuda itu menyebut nama orang tua saya, bapak ini ternyata sedang mencari alamat orang tua saya. Saya pun menghentikan kegiatan bermain bola saya dan segera bergegas pulang sambil bertanya-tanya dalam hati, siapa bapak dan keluarganya ini.

Bapak dan keluarganya itu adalah famili saya yang tinggal di Pasuruan, sebuah kota di Jawa Timur beberapa kilometer di selatan Surabaya. Inilah yang saya ketahui dari orang tua saya. Mereka memang belum pernah datang ke Jakarta sebelumnya atau sebaliknya keluarga saya pun belum pernah ke Pasuruan sehingga kami memang belum pernah bertemu. Pertemuan antarkeluarga ini cukup mengharukan juga karena orang tua saya memang sudah sangat lama tidak berjumpa dengan keluarga ini. Apalagi waktu itu komunikasi masih sangat sulit, telepon belum ada.

Pak lek dan bulek, begitu saya menyebut mereka, adalah salah satu keluarga bapak. Bapak dan ibu saya berasal dari Ponorogo Jawa Timur. Bulek adalah adik kandung bapak saya. Dan, semenjak bulek menikah dan ikut dengan pak lek tinggal di Pasuruan, bapak belum pernah bertemu dengannya. Bahagia sekali kami saat itu karena kami kedatangan tamu spesial dan sekaligus menyambung kembali tali silaturahmi di antara keluarga kami.

Pak lek dan bulek memiliki tiga anak, sama halnya dengan keluarga saya. Kebetulan anak pertama bulek sebaya dengan saya. Tentu saja saya sangat senang karena dengan kedatangan bulek saya jadi punya teman bermain. Saya dan anak pertama bulek pun menjadi akrab dan selalu bermain bersama-sama. Oiya, saat itu sedang libur sekolah lho, jadi saya bisa bermain sepuas-puasnya.

Lho, apa hubungannya kedatangan bulek dengan naik pesawat Hercules? Hayo, tebak ada hubungannya ngga?

Tibalah waktunya bulek dan keluarganya pulang ke Pasuruan. Om saya yang lain, adik dari ibu saya, saat itu menawarkan sesuatu yang tidak diduga-duga. Ada temannya yang menawarkan pesawat terbang ke Surabaya dengan biaya yang sangat murah. Tentu saja ini bukan pesawat komersial yang tiketnya mahal, ini adalah pesawat Hercules. Kebetulan sedang ada jadwal penerbangan pesawat Hercules ke Surabaya. Mungkin teman om saya ini mendapat jatah menumpang pesawat Hercules ini tetapi kemudian menjualnya lagi kepada om saya. Tarifnya cukup murah hanya (kalo ngga salah) 50 ribu rupiah untuk satu keluarga. Tanpa pikir panjang kami mengambil penerbangan Hercules ini.

Wow, ngga kebayang deh perasaan kami saat itu. Ini pengalaman pertama kali naik pesawat, walaupun pesawat Hercules. Dengan biaya yang murah kami bisa menghemat waktu perjalanan pulang ke Pasuruan. Jika perjalanan normal dengan bis atau kereta api bisa memakan waktu 18 jam lebih, dengan pesawat ini kami bisa menempuhnya dalam waktu tidak lebih dari 8 jam saja. Saya hanya bisa ngiri saja melihat bulek dan keluarganya bisa naik pesawat, sambil membayangkan kapan saya bisa naik pesawat juga seperti mereka.

22 May 2009

Refleksi (bag. 1)

Masa lalu saya memang tidak begitu banyak diisi dengan berbagai kegiatan yang terlalu buruk dan menyimpang jauh dari nilai-nilai Islam

Dulu saya masih menyempatkan diri membaca al-quran (terutama pas mau ujian … maksain banget sih, niatnya mau ibadah atau biar lulus ujian nih hehehe) walaupun dengan bacaan yang masih belum lancar benar. Bacaan quran saya masih lumayan lah dibandingkan rata-rata anak muda seusia saya.

Semenjak dulu saya menganggap pacaran itu ngga sesuai dengan Islam, karenanya tidak pantas seorang muslim berpacaran. Dan, alhamdulillah saya ngga pernah pacaran sampe saya menikah. Istri saya inilah pacar saya yang pertama sekaligus (insya allah) yang terakhir buat saya.

Dulu saya adalah penggemar berat musik terutama musik metal (kata nyokap, musik dombreng-dombreng ..). bisa jadi inilah salah satu pola pikir saya yang agak menyimpang dari nilai Islam.

Dulu saya masih menyempatkan diri solat jamaah di masjid terutama waktu magrib dan Isya. Masa itu saya adalah salah satu dari sedikit jamaah masjid yang masih muda, di antara jamaah lain yang rata-rata berusia 40-an tahun. Alhamdulillah, Ritual ini masih tetap saya lakukan sampai saat ini.

Meskipun saya tidak terlalu aktif dalam kegiatan keislaman, tetapi saya juga ngga begitu menyukai dan membatasi diri dari kegiatan yang bersifat hura-hura. Saya memang suka musik dan sesekali menonton film di bioskop tetapi ya sebatas hiburan aja. Ngga sampe berlebihan. Saya memang selalu berusaha netral dan berada di tengah-tengah dalam setiap hal. Dalam perkembangannya saya baru menyadari bahwa sikap pertengahan adalah salah satu konsep Islam, tentu saja pertengahan dalam konsep Islam tidak berlaku untuk hal yang maksiat dan menyimpang dari Islam.

Saya juga sangat tertarik dengan keilmuan dan sangat senang membaca buku. koleksi buku saya lumayan banyak buat seorang anak muda seperti saya. Dan saya juga senang membaca buku keislaman.

Saya sendiri sulit menerima pernyataan bahwa masa-masa ini sebagai masa jahiliyah. Istilah yang sering dikatakan oleh mereka terhadap masa-masa sebelum mereka mendalami Islam atau berhijrah dan tergabung dalam barisan gerakan atau harokah Islam.

Bisa jadi sifat saya yang semacam ini memudahkan saya untuk berinteraksi dengan gerakan (harokah) Islam. Terlebih lagi saat saya masuk kuliah, di saat saya sedang mencari sebanyak-banyaknya teman yang bisa dijadikan sahabat. Wajar saja, karena kuliah saya jauh dari rumah, orang tua, dan sanak keluarga. Saya ingin mencari kawan yang bisa dijadikan sandaran dan tempat untuk berbagi, seorang saudara dekat buat saya.

Pertama kali bersinggungan dengan pergerakan Islam, saya berkenalan dengan jamaah tablig yang terlihat sangat bersungguh-sungguh dan tekun dalam beribadah. Bacaan-bacaan hadistnya sesudah solat jamaah di masjid kampus begitu menarik hati saya pada awalnya. Membuat saya tak kuasa menolak ajakan mereka untuk mengikuti kegiatan mereka yang disebut khuruj, yaitu berdiam diri (I’tikaf) di masjid selama 24 jam di akhir pekan (hari sabtu-minggu) dan mengisi dengan berbagai ibadah wajib dan sunnah.

Sampai akhirnya saya dipertemukan oleh Allah dengan para pemuda yang penuh dengan semangat dan optimisme tentang sebuah gambaran Islam yang utuh dan menyeluruh. Gambaran tentang Islam yang belum pernah saya dapatkan dan tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Islam yang tidak hanya ibadah dan aktivitas yang selama ini dan secara umum dipahami, tetapi Islam sebagai sebuah konsep hidup, sebagai sebuah keyakinan yang harus disempurnakan dalam sebuah sistem dan tatanan sosial kemasyarakatan.

Mulailah saya menceburkan diri dan melebur dalam arus pergerakan ini. di sini saya mengenal arti ukhuwah Islamiyah, dan mulai mendapatkan pencerahan akan sebuah cita-cita mulia yang menjadi tujuan hidup seorang muslim, melakukan penghambaan diri hanya kepada Allah.

Saya tersadar bahwa gambaran Islam yang sempurna ternyata amat jauh berbeda dengan apa yang menjadi realitas masa kini. Membuat saya bertekad untuk bersama-sama dalam gerakan Islam ini untuk berusaha mewujudkan cita-cita mulia untuk menegakkan Islam dalam setiap sendi kehidupan.

Saya mulai menggali khasanah keislaman yang begitu teramat luas ini. saya sadar bahwa semangat yang tinggi perlu dibarengi dengan wawasan (tsaqofah) keislaman yang lengkap dan menyeluruh. Saya perlu membekali diri saya dengan ilmu seiring dengan semangat untuk melakukan perbaikan kepada masyarakat.

Saya tidak akan pernah melupakan satu tempat (sarana) dimana saya mendapatkan pemahaman Islam yang lengkap. Di sanalah saya menimba ilmu keislaman sekaligus penyadaran akan perlunya sebuah gerakan untuk membumikan Islam secara utuh dan sempurna. Itulah Ma’had Al Ihsan. Di bawah bimbingan ustad-ustad lulusan LIPIA, sebagai salah satu referensi pengetahuan keislaman, saya dihadapkan pada konsep-konsep keislaman, aqidah, tauhid, sejarah (sirah nabawiyah), fiqh, dakwah dan tata cara berdakwah (fiqh dakwah), ghozwul fikri, hadits, sampai bahasa Arab (Gini-gini ana bisa bahasa arab lho, afwan ya antum …).

Meskipun saya kuliah di bidang eksak, saya berani bertaruh pengetahuan Islam saya ngga kalah dengan mereka yang kuliah di IAIN sekalipun (bukannya nyombong ya, cuma geer aja kok …yee sama aja dong hehehe). Alhamdulillah, pola pikir saya sampai saat ini adalah pola pikir yang terbentuk dari fase belajar ini.

11 May 2009

KISAH 2009 (Kontes Inspirasi dan Harapan)

Tulisan ini dicopy abis dari situs erlangga (www.erlangga.co.id)
tulisan asli bisa dibaca disini

KISAH (Kontes Inspirasi dan Harapan) adalah lomba menulis tahunan yang diselenggarakan oleh ESENSI, divisi penerbitan Erlangga Group. Lomba Kisah 2009 ini mengangkat kisah sejati yang memberi inspirasi dan harapan, dengan tema berikut.

“Cinta Melampaui Masa”

Melalui KISAH, Esensi ingin menggugah hati semua orang untuk berbagi kisah yang memberi inspirasi dan semangat hidup pada pembacanya.

Syarat dan Ketentuan:
1. Peserta adalah warga negara Indonesia laki-laki maupun perempuan berusia minimal 18 tahun.
2. Tulisan bisa berisi kisah hidup pribadi, keluarga, atau orang lain berisi perjuangan hidup dan mendorong semangat sesama untuk meraih hidup yang lebih baik.
3. Cerita ditulis dalam format narasi, baik dalam sudut pandang orang pertama (aku) atau orang ketiga.
4. Kisah yang diceritakan adalah kisah nyata, bukan rekaan, terjemahan, saduran, atau jiplakan.
5. Karya yang dikirimkan harus orisinal, belum pernah dipublikasikan, baik di media elektronik maupun cetak, dan belum pernah diikutsertakan dalam sayembara lain.
6. Naskah diketik dengan komputer sepanjang 10 - 30 halaman A4, jenis huruf Times New Roman 11, dan spasi 1,5.
7. Naskah dikirim dalam bentuk print out dan file (dalam CD). Sertakan biodata singkat penulis dan narasumber (jika menceritakan tentang orang lain), alamat lengkap, nomor telepon,dan foto kopi KTP. Tuliskan KISAH di sebelah kiri atas amplop.

Kirimkan naskah ke:
Panitia KISAH
Divisi ESENSI, Penerbit Erlangga
Jl. Haji Baping Raya No. 100
Ciracas, Pasar Rebo,
Jakarta Timur, 13740

Atau via e-mail ke:
• kisah@erlangga.netAlamat e-mail ini telah diblok oleh spam bots, Anda membutuhkan Javascript untuk melihatnya
• lomba_kisah@yahoo.comAlamat e-mail ini telah diblok oleh spam bots, Anda membutuhkan Javascript untuk melihatnya

8. Peserta boleh mengirimkan lebih dari 1 naskah.
9. Naskah yang masuk sepenuhnya menjadi milik panitia.
10. Naskah paling lambat diterima pada 30 Juni 2009.
11. Keputusan juri mengikat, tidak dapat diganggu gugat, dan tidak diadakan surat-menyurat
12. Untuk keterangan lebih lanjut klik http://www.erlangga.co.id

Hadiah:
1. Pemenang 1 memperoleh uang sebesar Rp. 5.000.000. dan hadiah sponsor.
2. Pemenang 2 memperoleh uang sebesar Rp. 3.000.000. dan hadiah sponsor.
3. Pemenang 3 memperoleh uang sebesar Rp. 2.000.000. dan hadiah sponsor.
4. Sepuluh karya terbaik akan diterbitkan dalam bentuk buku oleh Penerbit Erlangga sebanyak 10.000 eksemplar

Juri:
Zara Zettira (Penulis Novel dan Skenario Sinetron)
Alvin Adam (Juri Tamu)