What should i call my self?
I must work harder and spend more time than someone else to get more money. I should work at holiday when others take a time on vacation. I must finish my side job at the same time when i see my children playing around.
I can't stay with my children when they're need me beside them. I always have no time to be with my children cause I have endless work to do where i can get more money from there.
Now, I'm just have a simple question in my mind. Am I a workaholic or just a desperate married man who need more money?
Showing posts with label Curhat. Show all posts
Showing posts with label Curhat. Show all posts
28 December 2009
18 November 2009
Catatan Perjalanan Dakwah dan Tarbiyah
Ini adalah sedikit catatan tentang perjalanan dakwah dan tarbiyah yang telah kami lalui dan rasakan sejauh ini. Kami yang telah melalui jalan dakwah dan tarbiyah ini dan telah melalui beberapa tahapannya, dari mulai dakwah secara sembunyi-sembunyi sampai sekarang yang sudah sampai pada dakwah secara jahriyah (terang-terangan). Dari semenjak dakwah yang belum memiliki institusi resmi sampai pada dakwah yang secara jelas menjelma dalam bentuk partai.
Catatan ini kami buat tidak lain sebagai ungkapan cinta yang dalam kepada dakwah dan harokah ini. Dan, kami juga tak lupa menyampaikan rasa hormat serta ucapan terima kasih kepada para pendahulu dalam dakwah dan tarbiyah ini yang telah mengenalkan kami kepada jalan dakwah ini. Amalan baik kami tentu akan senantiasa mengalir kepada mereka sebagai orang-orang yang telah mengantarkan kami kepada kebaikan ini.
Tentu saja sudah banyak suka duka yang kami rasakan selama perjalanan dakwah dan tarbiyah ini. Dakwah dan tarbiyah yang selama ini telah memenuhi hati dan perasaan kami, serta menaungi otak dan pikiran kami. Dakwah dan tarbiyah inilah yang telah membentuk jiwa dan perasaan kami, serta mengasah otak dan pemikiran kami. Yang telah menjadi landasan kami dalam berpikir dan bertindak. Yang telah membuat kami menjadi manusia-manusia yang sejati. Namun, dakwah ini pula yang saat ini telah membuat kami bertanya-tanya. Seperti inikah dakwah dan tarbiyah yang selama ini kami kenal dan kami pahami?
Kami paham sepenuhnya bahwa selalu ada perubahan dalam setiap perjalanan dakwah dan tarbiyah. Bahwa zaman dan kondisi masyarakat akan selalu berubah sehingga memerlukan respon yang cepat dan sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada. Tapi, haruskah perubahan kondisi dan situasi juga mengubah cara pandang dan orientasi dakwah dan tarbiyah yang telah sama-sama kita pahami dan jalani selama ini.
Kami paham sepenuhnya bahwa dakwah dan tarbiyah itu senantiasa fleksibel sebagaimana Islam yang selalu fleksibel dan selalu cocok dengan situasi dan kondisi zaman dan tempat dimana pun dan kapan pun kita ada. Kami paham dengan realitas itu semua. Namun, janganlah fleksibilitas Islam itu disesuaikan dengan hawa nafsu dan keinginan kita dengan mengatasnamakan keinginan kita itu dengan syariat dan ketaatan atas jamaah. Justru hawa nafsu dan keinginan akan sesuatu yang semu yang mestinya harus diklopkan dengan syariat. Syariatlah yang semestinya menjadi patokan dan acuan dalam setiap langkah dan pola pikir.
Kami bukannya ingin bernostalgia dengan suasana tarbiyah masa lalu dimana semua aktivitas dakwah tidak memiliki tendensi kekuasaan dan politik. Tapi, tidak dapat dibantah bahwa kami merasa dakwah dan tarbiyah tanpa tendensi kekuasaan itulah fase terbaik dalam periode tarbiyah kami. Dimana seluruh potensi jasmani dan ruhiyah terfokus untuk menyukseskan suatu project yang nilainya hanya dikembalikan sepenuhnya kepada Allah. Tanpa berharap orang-orang akan memilih golongan kami saat pemilu ataupun pilkada.
Kami bukannya tidak ingin membantu dakwah dan tarbiyah ini. tapi, kami hanya ingin mengenalkan Islam ini secara murni dan tulus kepada semua umat manusia tanpa ada embel-embel politik dan kekuasaan. Ketika kami dituntut untuk merekrut anggota untuk ikut ke dalam golongan “kita” untuk sebuah kepentingan sesaat bernama pemilu atau pilkada, maka bukankah hal ini merupakan sebuah tuntutan yang cenderung duniawi dan bernilai sesaat. Padahal yang kita inginkan adalah sebuah tujuan yang sangat besar walaupun harus ditempuh dengan perjalanan yang sangat panjang.
Kami bukannya tidak ingin ikut ambil bagian dalam kaderisasi dan pembinaan anggota. Tapi, jika perekrutan anggota hanya untuk melibatkan mereka para anggota dalam kegiatan kampanye dan mobilisasi dukungan, apa yang dapat kita berikan kepada para anggota. Kami hanya ingin mengenalkan Islam secara kaffah kepada mereka dan memperkuat keyakinan dan aqidah mereka, sebagaimana yang pernah kami rasakan dulu.
Kami hanya ingin kehangatan ukhuwah yang murni bukan hanya ikatan jamaiyah dan keorganisasian yang semu. Dengan kehangatan ukhuwah inilah dahulu kami dapat bersatu dan merasakan sebuah kebangkitan ruhaniyah yang sangat kuat dan dalam, dimana rasa ini tidak pernah dapat kami rasakan lagi saat ini.
Ukhuwah yang dapat melupakan kami dari segala kesulitan hidup yang melilit kami yang mampu membuat kami bahagia dan merasa bahwa kami adalah orang-orang yang paling bahagia dan paling kaya di dunia ini. Walaupun kondisi kami saat itu jauh dari gambaran orang-orang yang berada dalam kondisi sangat baik, kami dapat merasakan suasana ruhiyah yang sangat tentram dan damai sebagai dampak dari ukhuwah yang kuat yang lepas dari tendensi organisasi dan kepartaian.
Ukhuwah itu bukanlah sebuah nostalgia, tapi dia adalah sebuah keniscayaan yang mestinya tidak pernah luntur dan berubah oleh situasi dan kondisi yang ada. Bukanlah sebuah kejelekan untuk kembali ke keadaan sebelumnya jika terbukti keadaan tersebut memang lebih baik. Kita bukannya ingin kembali ke masa lalu, tetapi nilai-nilai positif yang ada itulah yang mestinya bisa dikembalikan lagi dan tetap terwujud walaupun dalam situasi dan zaman yang berbeda.
Kami hanya ingin suasana tarbiyah yang penuh dengan kehangatan ukhuwah dan ruhiyah bukan sekedar wahana untuk pelaporan yang penuh dengan target dan tuntutan. Peralihan marhalah atau tahapan dakwah bukan berarti menghilangkan keceriaan dan kehangatan ukhuwah yang ada. Perluasan cakupan dakwah tidak perlu menjadikan hubungan persaudaraan berubah dan beralih menjadi hubungan organisatoris yang penuh dengan beban, tekanan, dan tendensi. Ikatan hati dan ukhuwah tidak boleh terhapus oleh apapun karena atas landasan ukhuwah itulah kita justru seharusnya saling memperkuat dan terlepas dari ikatan kedudukan dan posisi dalam organisasi dakwah.
Kami ingin memberikan segala yang kami miliki untuk dakwah ini, jiwa, pikiran, harta, dan waktu kami namun kami juga tidak ingin melihat keluarga kami telantar. Tidak mungkin kami membiarkan keluarga kami telantar sementara kami juga dituntut untuk menjadi figur-figur yang terkemuka di mata masyarakat dan lingkungan sekitar kami. Tentu saja kami perlu menampilkan citra sebagai keluarga yang baik untuk menjaga citra kami sebagai orang-orang yang terbina oleh sebuah organisasi dakwah.
Tak perlu kami menghitung cucuran keringat dan air mata bahkan darah yang telah kami tumpahkan ke bumi yang suci dan mulia ini untuk membuktikan rasa cinta kami yang dalam dan tulus kepada dakwah dan tarbiyah ini. Sembah sujud serta rentetan doa selalu kami haturkan kepada Ilahi Robbi agar dakwah dan tarbiyah ini selalu berada dalam naungan, perlindungan, dan ridho-Nya sampai di suatu hari nanti kemuliaan dan keagungannya itu akan tampak di bumi ini.
Catatan ini kami buat tidak lain sebagai ungkapan cinta yang dalam kepada dakwah dan harokah ini. Dan, kami juga tak lupa menyampaikan rasa hormat serta ucapan terima kasih kepada para pendahulu dalam dakwah dan tarbiyah ini yang telah mengenalkan kami kepada jalan dakwah ini. Amalan baik kami tentu akan senantiasa mengalir kepada mereka sebagai orang-orang yang telah mengantarkan kami kepada kebaikan ini.
Tentu saja sudah banyak suka duka yang kami rasakan selama perjalanan dakwah dan tarbiyah ini. Dakwah dan tarbiyah yang selama ini telah memenuhi hati dan perasaan kami, serta menaungi otak dan pikiran kami. Dakwah dan tarbiyah inilah yang telah membentuk jiwa dan perasaan kami, serta mengasah otak dan pemikiran kami. Yang telah menjadi landasan kami dalam berpikir dan bertindak. Yang telah membuat kami menjadi manusia-manusia yang sejati. Namun, dakwah ini pula yang saat ini telah membuat kami bertanya-tanya. Seperti inikah dakwah dan tarbiyah yang selama ini kami kenal dan kami pahami?
Kami paham sepenuhnya bahwa selalu ada perubahan dalam setiap perjalanan dakwah dan tarbiyah. Bahwa zaman dan kondisi masyarakat akan selalu berubah sehingga memerlukan respon yang cepat dan sesuai dengan kondisi masyarakat yang ada. Tapi, haruskah perubahan kondisi dan situasi juga mengubah cara pandang dan orientasi dakwah dan tarbiyah yang telah sama-sama kita pahami dan jalani selama ini.
Kami paham sepenuhnya bahwa dakwah dan tarbiyah itu senantiasa fleksibel sebagaimana Islam yang selalu fleksibel dan selalu cocok dengan situasi dan kondisi zaman dan tempat dimana pun dan kapan pun kita ada. Kami paham dengan realitas itu semua. Namun, janganlah fleksibilitas Islam itu disesuaikan dengan hawa nafsu dan keinginan kita dengan mengatasnamakan keinginan kita itu dengan syariat dan ketaatan atas jamaah. Justru hawa nafsu dan keinginan akan sesuatu yang semu yang mestinya harus diklopkan dengan syariat. Syariatlah yang semestinya menjadi patokan dan acuan dalam setiap langkah dan pola pikir.
Kami bukannya ingin bernostalgia dengan suasana tarbiyah masa lalu dimana semua aktivitas dakwah tidak memiliki tendensi kekuasaan dan politik. Tapi, tidak dapat dibantah bahwa kami merasa dakwah dan tarbiyah tanpa tendensi kekuasaan itulah fase terbaik dalam periode tarbiyah kami. Dimana seluruh potensi jasmani dan ruhiyah terfokus untuk menyukseskan suatu project yang nilainya hanya dikembalikan sepenuhnya kepada Allah. Tanpa berharap orang-orang akan memilih golongan kami saat pemilu ataupun pilkada.
Kami bukannya tidak ingin membantu dakwah dan tarbiyah ini. tapi, kami hanya ingin mengenalkan Islam ini secara murni dan tulus kepada semua umat manusia tanpa ada embel-embel politik dan kekuasaan. Ketika kami dituntut untuk merekrut anggota untuk ikut ke dalam golongan “kita” untuk sebuah kepentingan sesaat bernama pemilu atau pilkada, maka bukankah hal ini merupakan sebuah tuntutan yang cenderung duniawi dan bernilai sesaat. Padahal yang kita inginkan adalah sebuah tujuan yang sangat besar walaupun harus ditempuh dengan perjalanan yang sangat panjang.
Kami bukannya tidak ingin ikut ambil bagian dalam kaderisasi dan pembinaan anggota. Tapi, jika perekrutan anggota hanya untuk melibatkan mereka para anggota dalam kegiatan kampanye dan mobilisasi dukungan, apa yang dapat kita berikan kepada para anggota. Kami hanya ingin mengenalkan Islam secara kaffah kepada mereka dan memperkuat keyakinan dan aqidah mereka, sebagaimana yang pernah kami rasakan dulu.
Kami hanya ingin kehangatan ukhuwah yang murni bukan hanya ikatan jamaiyah dan keorganisasian yang semu. Dengan kehangatan ukhuwah inilah dahulu kami dapat bersatu dan merasakan sebuah kebangkitan ruhaniyah yang sangat kuat dan dalam, dimana rasa ini tidak pernah dapat kami rasakan lagi saat ini.
Ukhuwah yang dapat melupakan kami dari segala kesulitan hidup yang melilit kami yang mampu membuat kami bahagia dan merasa bahwa kami adalah orang-orang yang paling bahagia dan paling kaya di dunia ini. Walaupun kondisi kami saat itu jauh dari gambaran orang-orang yang berada dalam kondisi sangat baik, kami dapat merasakan suasana ruhiyah yang sangat tentram dan damai sebagai dampak dari ukhuwah yang kuat yang lepas dari tendensi organisasi dan kepartaian.
Ukhuwah itu bukanlah sebuah nostalgia, tapi dia adalah sebuah keniscayaan yang mestinya tidak pernah luntur dan berubah oleh situasi dan kondisi yang ada. Bukanlah sebuah kejelekan untuk kembali ke keadaan sebelumnya jika terbukti keadaan tersebut memang lebih baik. Kita bukannya ingin kembali ke masa lalu, tetapi nilai-nilai positif yang ada itulah yang mestinya bisa dikembalikan lagi dan tetap terwujud walaupun dalam situasi dan zaman yang berbeda.
Kami hanya ingin suasana tarbiyah yang penuh dengan kehangatan ukhuwah dan ruhiyah bukan sekedar wahana untuk pelaporan yang penuh dengan target dan tuntutan. Peralihan marhalah atau tahapan dakwah bukan berarti menghilangkan keceriaan dan kehangatan ukhuwah yang ada. Perluasan cakupan dakwah tidak perlu menjadikan hubungan persaudaraan berubah dan beralih menjadi hubungan organisatoris yang penuh dengan beban, tekanan, dan tendensi. Ikatan hati dan ukhuwah tidak boleh terhapus oleh apapun karena atas landasan ukhuwah itulah kita justru seharusnya saling memperkuat dan terlepas dari ikatan kedudukan dan posisi dalam organisasi dakwah.
Kami ingin memberikan segala yang kami miliki untuk dakwah ini, jiwa, pikiran, harta, dan waktu kami namun kami juga tidak ingin melihat keluarga kami telantar. Tidak mungkin kami membiarkan keluarga kami telantar sementara kami juga dituntut untuk menjadi figur-figur yang terkemuka di mata masyarakat dan lingkungan sekitar kami. Tentu saja kami perlu menampilkan citra sebagai keluarga yang baik untuk menjaga citra kami sebagai orang-orang yang terbina oleh sebuah organisasi dakwah.
Tak perlu kami menghitung cucuran keringat dan air mata bahkan darah yang telah kami tumpahkan ke bumi yang suci dan mulia ini untuk membuktikan rasa cinta kami yang dalam dan tulus kepada dakwah dan tarbiyah ini. Sembah sujud serta rentetan doa selalu kami haturkan kepada Ilahi Robbi agar dakwah dan tarbiyah ini selalu berada dalam naungan, perlindungan, dan ridho-Nya sampai di suatu hari nanti kemuliaan dan keagungannya itu akan tampak di bumi ini.
19 November 2008
Mohon Bantuan
Sebenarnya ini masalah pribadi saya, tapi saya memberanikan diri mengemukakan hal ini karena saya ngga tau kemana lagi mau mencurahkan perasaan saya ini.
melalui tulisan ini saya mau minta tolong untuk membantu mencarikan pekerjaan untuk saya. saat ini saya memang masih bekerja di perusahaan penerbitan. namun mengingat status saya yang masih kontrak (yg hanya tersisa beberapa bulan saja) dan mengingat industri penerbitan (terutama penerbitan buku sekolah) yang saat ini sedang lesu, saya melihat karier saya tidak bisa berkembang di tempat saya bekerja saat ini. saya sendiri sudah berusaha untuk mencari pekerjaan lain dan masih terus saya lakukan sampai saat ini.
mengingat usia saya yang sudah "cukup tua" untuk bersaing dengan pesaing lain yang lebih muda dan segar, saya merasa kesulitan bersaing dan terbatas dalam mencari pekerjaan yang tepat. tentu saja ini tidak menguntungkan buat saya tetapi inilah yang terjadi. oleh karena itu, saya juga dengan sangat meminta bantuan untuk mereferensikan saya kepada kenalan atau siapa saja yang dikenal. karena hanya dengan cara inilah mungkin saya bisa mendapat peluang lebih besar untuk mendapat pekerjaan.
sampai saat ini saya masih kesulitan mendapat pekerjaan yang bisa menunjang kehidupan saya, pekerjaan yang bisa menjanjikan kehidupan dan masa depan saya dan keluarga saya. meskipun saya lulusan S1 dari PTN dan telah lama bekerja (hampir 9 tahun) namun saya masih belum bisa memperbaiki atau meningkatkan taraf hidup saya. sekali lagi saya mohon maaf atas isi surat ini, tapi saya ngga tau lagi harus mengadu kemana.
saya sangat berharap ada yang dapat membantu mencarikan jalan keluar buat saya.
mohon maaf dan terima kasih atas perhatiannya.
melalui tulisan ini saya mau minta tolong untuk membantu mencarikan pekerjaan untuk saya. saat ini saya memang masih bekerja di perusahaan penerbitan. namun mengingat status saya yang masih kontrak (yg hanya tersisa beberapa bulan saja) dan mengingat industri penerbitan (terutama penerbitan buku sekolah) yang saat ini sedang lesu, saya melihat karier saya tidak bisa berkembang di tempat saya bekerja saat ini. saya sendiri sudah berusaha untuk mencari pekerjaan lain dan masih terus saya lakukan sampai saat ini.
mengingat usia saya yang sudah "cukup tua" untuk bersaing dengan pesaing lain yang lebih muda dan segar, saya merasa kesulitan bersaing dan terbatas dalam mencari pekerjaan yang tepat. tentu saja ini tidak menguntungkan buat saya tetapi inilah yang terjadi. oleh karena itu, saya juga dengan sangat meminta bantuan untuk mereferensikan saya kepada kenalan atau siapa saja yang dikenal. karena hanya dengan cara inilah mungkin saya bisa mendapat peluang lebih besar untuk mendapat pekerjaan.
sampai saat ini saya masih kesulitan mendapat pekerjaan yang bisa menunjang kehidupan saya, pekerjaan yang bisa menjanjikan kehidupan dan masa depan saya dan keluarga saya. meskipun saya lulusan S1 dari PTN dan telah lama bekerja (hampir 9 tahun) namun saya masih belum bisa memperbaiki atau meningkatkan taraf hidup saya. sekali lagi saya mohon maaf atas isi surat ini, tapi saya ngga tau lagi harus mengadu kemana.
saya sangat berharap ada yang dapat membantu mencarikan jalan keluar buat saya.
mohon maaf dan terima kasih atas perhatiannya.
24 July 2008
You can't go far ...
Sebenarnya banyak yang pengen gue tuliskan di sini. Tapi, gue sangat terhambat dengan koneksi internet yang antara hidup dan mati atau hidup segan mati tak mau. Sebentar nyambung, tiba-tiba putus, begitu berulang-ulang. Gue emang memanfaatkan (nebeng) internet di kantor. Minggu ini ngga ada kerjaan yang perlu gue selesaikan, jadi sebenarnya banyak kesempatan dan waktu untuk menuliskan banyak hal. Tapi, itu semua ngga bisa gue lakukan.
Satu hal lagi, udah beberapa hari ini gue susah akses ke blog atau blogger. Gue coba masukblog gue dan alamat blog yang lain ngga bisa kebuka. Kayaknya, semua situs blog diblokir oleh sang admin. Di sini emang ada admin jaringan yang memantau lalu lintas jaringan dan punya kewenangan memblokir situs yang dianggap ngga perlu dan ngga penting (tapi kalo situs porno ngga pernah diblokir deh kayaknya! aneh khan). Menurut gue ngga penting banget dan kayak ngga ada kerjaan aja ngeblokir blog. Apa salahnya kita ngeblog dengan fasilitas kantor, emang ngga ada kerjaan kok. Kalo pas lagi ada kerjaan sih kita cepet-capet nyelesein kerjaan kita. Jadi, sama sekali ngga mengganggu kerjaan kita, what's wrong?
Walhasil gue jadi agak susah buat posting tulisan gue ke blog. Gue juga jadi males mau nulis, kehilangan selera. Udah koneksi internet hidup mati, akses ke blogger diblokir pula. Gue udah kayak tentara yang kehilangan senapannya, ngga bisa berbuat apa-apa.
Untung aja, ada temen gue yang meminjamkan buku komiknya. Buku komiknya berjudul Ninja Rantaro, yang merupakan versi komik dari film kartun berjudul Ninja Boy. Gue cukup terhibur dengan buku komik ini yang menurut gue lumayan lucu. Buat gue yang pernah menonton film Ninja Boy, sudah sangat familiar dengan karakter tokoh dalam komik ini. Dan, gue ngga bisa nahan diri untuk ketawa sendiri di meja gue saat baca buku ini. Lumayanlah ada hiburan.
Satu hal lagi, udah beberapa hari ini gue susah akses ke blog atau blogger. Gue coba masukblog gue dan alamat blog yang lain ngga bisa kebuka. Kayaknya, semua situs blog diblokir oleh sang admin. Di sini emang ada admin jaringan yang memantau lalu lintas jaringan dan punya kewenangan memblokir situs yang dianggap ngga perlu dan ngga penting (tapi kalo situs porno ngga pernah diblokir deh kayaknya! aneh khan). Menurut gue ngga penting banget dan kayak ngga ada kerjaan aja ngeblokir blog. Apa salahnya kita ngeblog dengan fasilitas kantor, emang ngga ada kerjaan kok. Kalo pas lagi ada kerjaan sih kita cepet-capet nyelesein kerjaan kita. Jadi, sama sekali ngga mengganggu kerjaan kita, what's wrong?
Walhasil gue jadi agak susah buat posting tulisan gue ke blog. Gue juga jadi males mau nulis, kehilangan selera. Udah koneksi internet hidup mati, akses ke blogger diblokir pula. Gue udah kayak tentara yang kehilangan senapannya, ngga bisa berbuat apa-apa.
Untung aja, ada temen gue yang meminjamkan buku komiknya. Buku komiknya berjudul Ninja Rantaro, yang merupakan versi komik dari film kartun berjudul Ninja Boy. Gue cukup terhibur dengan buku komik ini yang menurut gue lumayan lucu. Buat gue yang pernah menonton film Ninja Boy, sudah sangat familiar dengan karakter tokoh dalam komik ini. Dan, gue ngga bisa nahan diri untuk ketawa sendiri di meja gue saat baca buku ini. Lumayanlah ada hiburan.
04 July 2008
Transformasi Lorentz
Gue ngga liqo lagi. Akhirnya, statemen ini keluar juga dari mulut gue. Dengan berat hati dan sejuta perasaan bersalah gue terpaksa mengeluarkan statemen ini. Sebenarnya ngga ada yang salah dengan liqo atau tarbiyah, tapi gue ngga bisa lagi bermuka dua. Di satu sisi mengaku sebagai kader tarbiyah tapi di sisi lain sama sekali tidak menunjukkan diri sebagai kader tarbiyah sejati. Gue emang (kelihatan) alim, ngga pernah ketinggalan salat lima waktu dan sering ke masjid, suka puasa senin kamis, punya istri berjilbab, dan seabrek citra lain yang memungkinkan gue untuk disebut ikhwan. Tapi semua itu ngga cukup untuk dijadikan alasan dan pengakuan bahwa diri gue pantes disebut ikhwan dan bahkan bisa jadi sekedar kamuflase di balik sisi gelap gue yang lain.
Gue yang sekarang ini memang lain dengan gue waktu masih kuliah dulu. Dulu, gue dikenal sebagai cowok yang selalu mengisi hari-hari siang malem dengan aktivitas dakwah dan tarbiyah. Gue yang ngga pernah memandang cewek (akhwat) yang bukan muhrimnya. Gue yang senang mengkaji ilmu al-quran dan menghafalkan al-quran. Gue yang cuma mengenal tiga tempat: kampus, perpustakaan, dan masjid. Cewek dan pacaran adalah dua kata yang bisa membuatnya muntah karena jijiknya. Gue hidup dengan segudang idealisme tanpa pernah melihat realitas yang ada. Saat itulah liqo dan tarbiyah adalah dua kata indah dan wajib dalam hidup gue.
Waktu itu juga segala yang berhubungan dengan musik, nyanyian, dan film gue singkirin dari kamus hidup gue. Karena bagi kami hal itu sia-sia dan maksiat. Sebagai gantinya kami menggelorakan semangat kami melalui nasyid. Itu loh nyanyian tanpa musik yang mengobarkan semangat jihad, atau nyanyian yang hanya diiringi oleh gendang (tapi bukan dangdut ya!). Kami benar-benar menjaga diri kami dari hal-hal yang nyerempet maksiat dan sia-sia.
Itu bisa aja dilakukan waktu gue masih kuliah. Saat di mana kita bisa melakukan apa saja yang kita mau tanpa ada yang bisa menggugat. Mahasiswa gitu loh, apa pun bisa gue lakukan. Persetan dengan dunia dan orang lain. Gue seolah berada di dunia lain, dunia antah berantah yang sangat jauh berbeda dengan dunia tempat kita hidup. Saat itu gue ngga pernah berpikir bahwa gue ngga akan selamanya di kampus dan satu saat akan terjun ke masyarakat. Gue ngga pernah berpikir bahwa gue harus membuka mata terhadap masyarakat sekitar.
Tapi, gue baru sadar saat gue lulus kuliah dan dihadapkan dengan realitas dan dunia nyata. Gue baru agak ngeh dan sadar bahwa selama ini gue bagaikan katak di dalam tempurung. Gue cuma mengenal idealisme sebagai realitas semu tanpa sadar akan realitas yang sesungguhnya.
Saat gue kuliah dulu kebetulan gue tergabung dalam komunitas yang mengusung idealisme yang sama. Kami sangat kuat memegang prinsip dan keyakinan. Maklum, anak kuliah yang sedang on fire. Kami membangun ikatan hati dan ukhuwah dan mematok target besar di masa datang.
Dalam suasana seperti itulah gue memutuskan untuk mencari pendamping hidup yang memiliki kesamaan visi dan pandangan. Waktu itu idealisme gue udah agak menurun karena gue sadar diperlukan sesuatu yang lebih besar dari sekedar idealisme, gue perlu mempertimbangkan masa depan buat keluarga gue.
Masih dalam suasana tarbiyah, gue memilih pendamping hidup gue. Padanya gue menggantungkan masa depan anak-anak gue. Saat inilah gue benar-benar dibenturkan pada dua hal yaitu menjaga prinsip dan keyakinan, dan memperoleh pekerjaan dan karir untuk masa depan keluarga gue. Gue dihadapkan pada kenyataan dimana gue harus memilih menikmati pekerjaan dimana gue harus berhadapan dengan segala risiko dan konsekuensi dari pekerjaan yang terkadang tidak sesuai dengan prinsip kita dan menjaga prinsip dan keyakinan kita dengan kuat.
Akhirnya, gue ngga bisa lagi menjaga prinsip gue dengan teguh dan terbawa pada arus dan kenyataan yang harus gue hadapi. Dan sialnya gue merasa sangat nyaman dengan kondisi ini. Di lain pihak gue jadi merasa asing dengan komunitas yang gue pernah menjadi bagian penting darinya. Gue udah jauh dari aliran dan arus komunitas itu sehingga dengan berat hati gue memutuskan ikatan dengannya.
Saat ini, semua hal yang dulunya tabu dan haram buat gue dengan santainya gue nikmati seolah-olah gue bukan orang yang pernah membenci hal itu. Apakah ini suatu kematangan hidup? ataukah gue yang emang ngga pernah sungguh-sungguh menjalankan kehidupan gue yang dulu itu?
Gue merasa telah mengalami transformasi, yaitu perubahan bentuk dan karakter. Meminjam istilah dalam fisika: transformasi lorentz.
Perlukah gue kembali ke kehidupan gue yang dulu?
To be continued ...
Gue yang sekarang ini memang lain dengan gue waktu masih kuliah dulu. Dulu, gue dikenal sebagai cowok yang selalu mengisi hari-hari siang malem dengan aktivitas dakwah dan tarbiyah. Gue yang ngga pernah memandang cewek (akhwat) yang bukan muhrimnya. Gue yang senang mengkaji ilmu al-quran dan menghafalkan al-quran. Gue yang cuma mengenal tiga tempat: kampus, perpustakaan, dan masjid. Cewek dan pacaran adalah dua kata yang bisa membuatnya muntah karena jijiknya. Gue hidup dengan segudang idealisme tanpa pernah melihat realitas yang ada. Saat itulah liqo dan tarbiyah adalah dua kata indah dan wajib dalam hidup gue.
Waktu itu juga segala yang berhubungan dengan musik, nyanyian, dan film gue singkirin dari kamus hidup gue. Karena bagi kami hal itu sia-sia dan maksiat. Sebagai gantinya kami menggelorakan semangat kami melalui nasyid. Itu loh nyanyian tanpa musik yang mengobarkan semangat jihad, atau nyanyian yang hanya diiringi oleh gendang (tapi bukan dangdut ya!). Kami benar-benar menjaga diri kami dari hal-hal yang nyerempet maksiat dan sia-sia.
Itu bisa aja dilakukan waktu gue masih kuliah. Saat di mana kita bisa melakukan apa saja yang kita mau tanpa ada yang bisa menggugat. Mahasiswa gitu loh, apa pun bisa gue lakukan. Persetan dengan dunia dan orang lain. Gue seolah berada di dunia lain, dunia antah berantah yang sangat jauh berbeda dengan dunia tempat kita hidup. Saat itu gue ngga pernah berpikir bahwa gue ngga akan selamanya di kampus dan satu saat akan terjun ke masyarakat. Gue ngga pernah berpikir bahwa gue harus membuka mata terhadap masyarakat sekitar.
Tapi, gue baru sadar saat gue lulus kuliah dan dihadapkan dengan realitas dan dunia nyata. Gue baru agak ngeh dan sadar bahwa selama ini gue bagaikan katak di dalam tempurung. Gue cuma mengenal idealisme sebagai realitas semu tanpa sadar akan realitas yang sesungguhnya.
Saat gue kuliah dulu kebetulan gue tergabung dalam komunitas yang mengusung idealisme yang sama. Kami sangat kuat memegang prinsip dan keyakinan. Maklum, anak kuliah yang sedang on fire. Kami membangun ikatan hati dan ukhuwah dan mematok target besar di masa datang.
Dalam suasana seperti itulah gue memutuskan untuk mencari pendamping hidup yang memiliki kesamaan visi dan pandangan. Waktu itu idealisme gue udah agak menurun karena gue sadar diperlukan sesuatu yang lebih besar dari sekedar idealisme, gue perlu mempertimbangkan masa depan buat keluarga gue.
Masih dalam suasana tarbiyah, gue memilih pendamping hidup gue. Padanya gue menggantungkan masa depan anak-anak gue. Saat inilah gue benar-benar dibenturkan pada dua hal yaitu menjaga prinsip dan keyakinan, dan memperoleh pekerjaan dan karir untuk masa depan keluarga gue. Gue dihadapkan pada kenyataan dimana gue harus memilih menikmati pekerjaan dimana gue harus berhadapan dengan segala risiko dan konsekuensi dari pekerjaan yang terkadang tidak sesuai dengan prinsip kita dan menjaga prinsip dan keyakinan kita dengan kuat.
Akhirnya, gue ngga bisa lagi menjaga prinsip gue dengan teguh dan terbawa pada arus dan kenyataan yang harus gue hadapi. Dan sialnya gue merasa sangat nyaman dengan kondisi ini. Di lain pihak gue jadi merasa asing dengan komunitas yang gue pernah menjadi bagian penting darinya. Gue udah jauh dari aliran dan arus komunitas itu sehingga dengan berat hati gue memutuskan ikatan dengannya.
Saat ini, semua hal yang dulunya tabu dan haram buat gue dengan santainya gue nikmati seolah-olah gue bukan orang yang pernah membenci hal itu. Apakah ini suatu kematangan hidup? ataukah gue yang emang ngga pernah sungguh-sungguh menjalankan kehidupan gue yang dulu itu?
Gue merasa telah mengalami transformasi, yaitu perubahan bentuk dan karakter. Meminjam istilah dalam fisika: transformasi lorentz.
Perlukah gue kembali ke kehidupan gue yang dulu?
To be continued ...
Subscribe to:
Posts (Atom)