03 December 2008

Adakah kompromi di antara dua pilihan?

Setiap orang pasti memiliki cita-cita, obsesi, atau keinginan. Dan, ketika keinginan itu hampir dapat diraih, tentu kita akan merasa senang. Tetapi, ketika keinginan yang sudah lama diimpikan dan hampir bisa diraih itu datang, kita menjadi ragu untuk mengambilnya karena ada batasan-batasan yang tidak mungkin dilewati begitu saja. Haruskah kita tetap mengikuti kata hati kita untuk meraih segala keinginan yang sudah di depan mata tanpa menghiraukan segala risiko dan mengabaikan batasan-batasan yang ada? Beranikah Anda menggapai keinginan Anda itu dengan mengorbankan sesuatu yang sudah ada?

Saya punya pengalaman yang mungkin mendekati sebagaimana kondisi di atas. Pengalaman ini terjadi beberapa waktu yang lalu, sudah agak lama juga sih.

salah satu impian saya adalah bisa melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. tidak dapat dibayangkan kegembiraan hati saya ketika pada suatu hari saya mendapat telepon yang menawarkan kepada saya beasiswa untuk studi tingkat magister. Saya langsung teringat bahwa beberapa bulan sebelumnya saya pernah apply untuk posisi research assistant dengan paket scholarship di sebuah perguruan tinggi swasta di jakarta. Tawaran ini tentu saja sangat menggiurkan karena memang sesuatu yang sangat saya impikan untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Dengan penuh antusias saya bersedia mengikuti proses yang harus dijalani untuk dapat diterima di posisi yang ditawarkan itu. pertama, saya harus membuat suatu presentasi dengan tema case research. Presentasi ini dilakukan di hadapan suatu panitia/juri yang terdiri dari tiga orang. Dengan penuh semangat saya mempersiapkan bahan presentasi itu yang bahan-bahannya saya dapat di buku teks dan internet.

Pada hari yang ditentukan saya pun datang memenuhi panggilan untuk melakukan presentasi. Saya harus menampilkan presentasi saya di hadapan petinggi kampus itu yang mereka minimal bergelar S2, salah satunya adalah dekan dari fakultas dimana saya melamar. Presentasi pun berlangsung lancar sampai akhirnya tibalah waktu untuk tanya jawab. Di sinilah saya baru mengetahui hal yang sebenarnya tentang posisi yang saya lamar dan scholarship yang ditawarkan. Dalam kesempatan tanya jawab inilah dekan itu menanyakan kesiapan saya untuk melamar di posisi yang ditawarkan, yaitu research assistant.

Ternyata mereka menawarkan posisi ini dengan kompensasi berupa beasiswa (scholarship) untuk studi magister. Mereka menanyakan kesiapan saya karena mereka ingin memastikan saya siap bekerja dengan gaji berupa beasiswa tersebut. Jadi, mereka mengalihkan gaji dan membayarkannya dalam bentuk beasiswa. Mereka menegaskan bahwa sebenarnya mereka bukan menawarkan beasiswa kepada saya tetapi mereka menawarkan job atau pekerjaan dimana pendapatan dari job itu bukan berupa uang melainkan berupa beasiswa.

Dan, job yang ditawarkan kepada saya pun full time dan bukan part time. Artinya, saya harus bekerja 6 hari dalam seminggu dan ditambah juga harus mengikuti perkuliahan di malam harinya. Bukan pekerjaan yang ringan bahkan sangat berat ternyata. Mengetahui bahwa saya sudah berkeluarga dan memiliki tanggung jawab untuk memberi nafkah, membuat mereka benar-benar ingin tahu kesiapan saya atas kondisi ini.

Saya yang awalnya sangat antusias dengan proses ini, menjadi agak bimbang. Kondisi yang ditawarkan itu memang menggiurkan tapi sangat berat bagi saya yang sudah memiliki keluarga. Dengan kondisi kerja seperti di atas, 6 hari kerja ditambah kuliah malam, tanpa gaji sepeser pun (karena sudah dialihkan menjadi beasiswa) tentu saja sangat sulit buat saya. Praktis saya tidak bisa mendapatkan gaji/pendapatan apapun bahkan walaupun disambi dengan freelance tetap saja ngga bisa nutup nafkah buat keluarga.

Walaupun istri saya bekerja, saya ngga mungkin membebankan nafkah keluarga kepada istri saya. Sebagai kepala keluarga sayalah yang bertanggung jawab memberi nafkah untuk keluarga. Ini ngga mungkin bisa saya jalankan dalam kondisi yang ditawarkan itu. Di satu sisi saya sangat menginginkan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi dan itu sudah ada di depan mata, tetapi di sisi lain saya juga memiliki keluarga yang harus saya beri nafkah.

Akhirnya dengan berat hati saya mengurungkan keinginan saya untuk mendapat beasiswa. Pihak universitas pun tidak ingin memaksa saya dan memahami kondisi saya yang sulit dan dilematis. Saya pun harus mengubur kembali cita-cita yang hampir bisa saya raih yang sudah ada di depan mata saya. Sedih, kecewa, dan berat rasanya. Saya hanya bisa berharap suatu saat nanti kesempatan itu akan datang lagi.

Dan, saat ini sepertinya kesempatan yang hampir sama kembali hadir di depan mata saya. Akankah saya mengorbankan cita-cita saya? Mungkinkah ada solusi yang bisa membuat saya dapat meraih cita-cita dan keinginan tanpa mengorbankan apa yang sudah ada?

2 comments:

AryaNst said...

Uni mana Mas? Di salah satu uni swasta di Jakarta, meskipun RA-nya memang digaji dengan beasiswa, tapi mereka dapet bayaran setiap kali menyelesaikan sebuah case study. Jadi kalau setiap bulan ada satu atau dua case study yang beres, tetap bakal ada pemasukan. Tapi memang itu riset di bidang manajemen sih, bukan eksakta.

Unknown said...

Maaf, nimbrung ...

Mungkin tips ini berguna ;-)

Ingat virus influensa atau bara (api)?

Dalam kondisi ekstrim yang tak memungkinkan bagi virus untuk berkembang biak, virus memilih bertahan hidup dengan cara "mengkista" (tetap hidup, meski tak berkembang biak).

Jika kondisi lingkungan berubah lebih baik, si virus kembali melakukan aktivitas kehidupan normal: berkembang biak ...

Seperti bara, mesti ada bara sekecil apa pun bara itu ...

Karena jika ada bara (meskipun kecil), maka api pun bisa terjadi!!

Salam, MH