15 December 2008

Selembar uang 20.000 lama

Sebagai seorang pengajar tidak tetap (yang tidak memiliki jadwal, tempat, waktu, dan juga gaji yang tetap), saya harus siap mengajar di lokasi manapun yang ditentukan oleh lembaga tempat saya mengajar. Ketika lembaga tempat saya mengajar menugaskan saya untuk mengajar di kota Serang, saya pun menyanggupinya. Lembaga kami yang bergerak di bidang pendidikan yang berbasis di Jakarta memang memiliki cabang di Serang, kota di sebelah barat kota Jakarta yang menempuh waktu 4 jam perjalanan dengan bus.

Saya yang biasanya mengajar di wilayah Jakarta, kali ini kebagian jatah mengajar di Serang. Selama satu semester, saya pun harus rela pulang pergi Jakarta – Serang satu kali dalam seminggu. Karena menempuh jarak yang jauh di luar kota, saya mendapat jatah uang transport setiap kali datang mengajar ke Serang.

Pada hari itu, kebetulan giliran saya mendapat jadwal mengajar di Serang. Tiga kelas masing-masing 1,5 jam pelajaran telah saya selesaikan. Dan, saatnya untuk pulang. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam saat saya melangkahkan kaki meninggalkan tempat saya mengajar. Sebelumnya, seperti biasa saya diberikan uang transport secara cash oleh penanggung jawab lokasi tempat saya mengajar.

Selembar uang 20 ribuan lama pun saya simpan di dompet saya. Saya tidak terlalu memperhatikan atau peduli apakah uang ini lama atau baru. Seharusnya uang lama pun masih bisa digunakan untuk pembayaran, begitu pikir saya.

Hari itu saya juga tidak membawa uang lebih di dompet saya karena saya sudah memperhitungkan ongkos saya secukupnya plus uang transport 20 ribu tersebut cukup untuk sampai ke rumah.

Saya mengeluarkan uang receh untuk membayar angkot sampai ke tempat pemberhentian bus jurusan ke Jakarta. Di sini saya harus menunggu bus jurusan Jakarta yang akan saya naiki. Tidak berapa lama menunggu, bus jurusan Jakarta (seingat saya namanya Sri Maju jurusan Merak-Jakarta lewat Serang) datang dan saya pun naik.

Bus sedang melaju dengan cepat di jalan tol Jakarta-Merak arah ke Jakarta, saat kondektur mulai berjalan menarik ongkos dari penumpang. Tibalah kondektur itu di hadapan saya sambil menagih ongkos bus. Selembar uang 20 ribu lama yang saya dapatkan dari tempat saya mengajar itu pun saya berikan karena memang hanya uang ini yang ada selain uang recehan lain yang ngga cukup untuk membayar ongkos bus.

Tapi, betapa terkejutnya saya, ketika kondektur itu menolak menerima uang 20 ribu tersebut. Dia beralasan uang tersebut sudah lama dan sudah tidak berlaku lagi sambil tetap menagih ongkos bus. Saya berusaha meyakinkan uang ini sah namun tampaknya sang kondektur tetap tidak mau menerima. Akhirnya, dia pun bilang nanti saya akan diturunkan di pemberhentian bus kalo tetap membayar dengan uang lama ini. saya ngga bisa berbuat apa-apa karena memang ngga punya uang lain yang cukup untuk membayar ongkos selain uang 20 ribu ini.

Benar juga, saya disuruh turun oleh kondektur saat bus tiba di tempat pemberhentian sekaligus pom bensin yang masih berada di jalan tol Jakarta-Merak. Saya pun turun dengan berat hati dan sambil menyesalkan dan menyalahkan diri sendiri kenapa tadi cuma membawa uang yang pas-pasan.

Saya pun mulai khawatir, berada di jalan tol di malam hari dengan uang lama yang ngga laku dan pas-pasan. Pikiran buruk pun datang, bagaimana kalo saya ngga bisa keluar dari jalan tol ini, bagaimana kalo ada orang jahat menyerang saya di tempat sepi ini, bagaimana kalo uang 20 ribu ini benar-benar ngga laku dan ngga bisa dipakai untuk pembayaran dan saya ngga bisa pulang.

Saya mulai mencari toko atau warung tempat saya bisa menukarkan atau membeli sesuatu dan mendapat kembalian berupa uang recehan. Saya lihat di tempat itu tidak terlalu sepi (untungnya, thanks God!), ada pom bensin dan beberapa warung makanan. Tapi, saya agak ragu apakah mereka mau menerima pembayaran dengan uang 20 ribu lama ini.

Saya pun masuk ke warung makanan dan membeli sebuah minuman botol seraya menyerahkan uang 20 ribuan tadi dan berharap mereka mau menerima uang ini dan memberi uang kembalian. Yeah, penjaga warung menerima uang itu tanpa banyak bicara (alhamdulillah, gue bisa pulang) namun masih harus menukar uang ini untuk kembalian. Perlahan hati saya mulai agak tenang.

Saya lihat bus yang tadi saya naiki sudah selesai mengisi bensin dan perlahan-lahan mulai bergerak jalan melanjutkan perjalanannya ke Jakarta. Saya tidak terlalu khawatir dan masih menunggu penjaga warung memberikan kembalian. Dalam hati, saya berharap masih ada bus lain yang singgah ke tempat ini sehingga saya bisa naik dan pergi dari tempat ini.

Setelah mendapat uang kembalian berupa uang recehan, saya beranjak dari warung tersebut sambil tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada penjaga warung.

Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya bus yang ditunggu itu, yang akan membawa saya meninggalkan tempat ini, datang juga. Dan, saya pun naik bus itu dengan rasa syukur karena telah terlepas dari kesulitan ini sambil bertekad tidak akan membawa uang pas-pasan lagi saat bepergian jauh.

No comments: